Gazebo ini sebenarnya dibuat kemudian, kira-kira tiga tahun setelah Ama dan Regi membangun rumah ini. Kata Regi, Ama mau sebuah tempat untuk kita sekeluarga berkumpul ketika bersantai. Meski hanya sebentar tapi kenangan yang sudah terukir ketika bersama keduanya amat berharga bagiku, bagi kami bertiga.
"Can I join?" ujarku bergaya seolah-olah bertemu orang baru.
"Owh S'il te plaƮt Miss belle," jawab Regi bergaya membungkuk dengan sopan menyambut candaku.
Akupun tersenyum, Regi selalu jadi ayah terbaik untukku, bisa kurasakan rasa sayangnya yang tidak pernah surut. Aku duduk di pangkuannya dengan manja, bersandar pada tubuhnya yang tinggi besar.
"Merindukan Ama?" tanyaku melihatnya membolak-balikkan album foto lama yang berisi foto-foto Alm. Amaku, dan kebersamaan yang mereka pernah miliki. Setiap ke sini, hal yang tidak pernah Regi lewatkan adalah melihat album foto sambil menikmati segelas burgundy. Itu artinya ia sedang amat sangat merindukan Amaku.
"Selalu, bahkan dalam tidurku aku selalu merindukan Adellina," jawabnya seraya memandang ke dalam rumah tersenyum seakan-akan melihat sosok Amaku di sana.
Setetes air mata keluar dari matanya yang lalu ia usap. Regi memang seorang pria yang cukup melankolis meski sikapnya yang workaholic. Darinya juga aku memperoleh sifat tersebut, mudah merasa empati pada orang lain.
"Aku juga Papa, aku juga," kubenamkan diriku dalam pelukan Regi. Mensyukuri satu-satunya sumber kasih sayang yang masih bisa kusentuh.
Kami terdiam untuk waktu yang lama, membayangkan wajah Ama hingga puas. Seakan sekarang ia juga ada di sini bersama kami berdua.
"Jadi kehidupan seperti apa yang sekarang engkau peroleh ma Belle?" Regi selalu menyebutku ma Belle yang artinya cantikku.
Ia memang selalu bersyukur akan kelahiranku yang ia dan Ama sangat nantikan setelah empat tahun penantian mereka.
"Ya well, bisnis berkembang bagus, Daniellamu tetap jadi supreme excellent berturut-turut, Velvetku semakin bersinar, teman-temanku, kami saling menyayangi. Je pense ... aku hidup dengan baik," jawabku menoleh sambil tersenyum padanya.
"Senang mendengarnya, maafkan aku tidak bisa selalu hadir," Regi meminta maaf untuk kesibukan yang membuatnya lebih sering berada di Perancis.
"Ne pas Papa, aku tidak menyalahkanmu," ujarku menenangkannya, dan memang aku tidak mau Regi lebih bersedih lagi.
Ia tersenyum dan mengelus seraya mengecup kepalaku, aku suka bila ia melakukannya.
"So have you falling in love?" tiba-tiba ia bertanya hal yang tidak kuduga.
"Memang boleh?" tanyaku menggodanya, siapa tahu ia tidak akan mengizinkannya.
"Bien sur ma Belle, kamu sudah dewasa, kamu punya hidupmu sendiri," jawaban Regi benar-benar tidak kuduga-duga dan aku entah bagaimana senang mendengarnya.
Serius?! Berarti ia mengizinkanku punya pacar ya kan? Ini bukan semacam honeypod kan?
"Well sebenarnya ... saat ini aku sedang eum ... dekat dengan seorang pria," ujarku agak ragu-ragu mengatakannya.
"Apakah ia pria yang baik?" tanya Regi.
"Eum hmmm," kuanggukan kepala yakin.
Regi tersenyum kecil namun giginya yang putih terlihat.