Life of Maharani

Wachyudi
Chapter #15

Crazy rich

HPku berbunyi, sebuah nada dering lagu berjudul 'Boulevard broken dream' dari Green day memecah keheninganku yang sedang bersantai sambil memainkan gitar di teras rumah.

"Halo Niel kenapa?" jawabku mengangkat telepon masuk yang ternyata dari Daniella.

"Aku enggak ganggu kamu kan? Adrian hari sabtu kosong?" tanyanya,

"Aku berangkat Niel, kenapa memangnya?" jawabku sedikit penasaran.

Sepertinya ia hendak mengajak bertemu.

"Maksudku sepulang sekolah, bisa ketemu?" kembali Daniella bicara, memperjelas ucapannya.

"Owh boleh, mau ketemu dimana?" tanyaku kembali.

"Di rumahku, nanti Erik jemput. Yaudah gitu aja, see you dear," ujarnya terdengar malu-malu.

Tunggu ... dia bilang di rumahnya kan? aku terdiam kala panggilan itu ditutup. Deg-degan rasanya, ini akan jadi kunjungan pertamaku ke rumahnya. Dan tadi dia memanggilku 'dear' kan?

---

Kuputuskan memakai motor kakakku daripada dijemput oleh Erik. Lebih mudah dijemput sebenarnya dan lagi tidak perlu capek-capek, tapi, jika hanya berdua saja dengan Erik maka akan terasa canggung sekali.

Rumah Daniella ternyata terletak di daerah pelosok, sekitar desa Pasawahan. Waktu dia pernah bilang Pesawahan, kukira tidak sampai sejauh ini. Untungnya jalan menuju rumahnya sudahlah jalan beraspal, hanya saja naik turun bukit.

Aku coba membunyikan bel di sebuah gerbang yang amat besar. Gerbang yang menyambung dengan tembok yang amat panjang. Beberapa CCTV terlihat terpasang di sudut-sudutnya mengawasi gerak gerik tiap orang yang lewat.

Komplek rumahnya bagus juga, terlihat aman dan luxury sekali. Jelas sekali bahwa Daniella dari keluarga berada bisa memiliki rumah di komplek mewah ini.

Gerbang terbuka ketika aku sebutkan namaku dan keperluanku yang hendak bertemu Daniella, sepertinya Daniella sudah memberi tahu pada keamanan bahwa aku akan datang.

"Luas juga ya, rumahnya yang mana Pak koq enggak keliatan? saya enggak tahu nomor rumahnya," tanyaku melirik ke arah jalan masuk komplek yang ternyata masih tertutup sebuah tembok melengkung dan agak menanjak.

"Maksudnya Dek? ya ini rumahnya Nona Daniella, ini tuh satu rumah," jawab si security.

Wah ini sih bukan kaya lagi tapi crazy rich pikirku. Aku yang bodoh atau deduksiku tumpul ya? selama ini Daniella memang beberapa kali menceritakan bahwa dirinya cukup kaya, tapi tidak pernah terbayang olehku bahwa ia bakal se-tajir ini. Lututku gemetar membayangkan pemandangan seperti apa yang akan aku saksikan. Kupacu sepeda motor matic kakakku menaiki sebuah tanjakan kecil, perlu empat menit untuk sampai ke sebuah bangunan luas berlantai tiga dan bergaya modern.

Kuparkir motorku sekenanya di pelataran yang memang mirip area parkir bersama mobilnya Daniella dan sebuah New Innova hitam bernopol B 14 NC, lalu menguatkan diri tuk berjalan menuju pintu kayu yang terlihat besar dan kokoh. Seperti di depan tadi, pintu ini juga dilengkapi dengan CCTV diatasnya. Kupencet bel dengan maksud memberi tahu kedatanganku, dan lalu menunggu.

"Gila perlu berapa turunan aku bisa punya rumah kayak gini," gumamku membunuh waktu.

Selang dua menit terbukalah pintu itu dan dari dalamnya ada Erik menyambutku.

"Silahkan masuk Mas Adrian, Nona Daniella menyuruh saya untuk mengantarkan anda," ucap Erik penuh sopan santun meski tetap berwajah tegas.

Kamipun berjalan menuruni tangga, ya menuruni tangga padahal sudah dilantai satu yang artinya ada basement di rumah ini. Dan ternyata basemen nya luas sekali. Erik mengarahkanku ke sebuah pintu logam berwarna hitam yang kemudian terbuka secara otomatis.

Di dalam terlihat Daniella sedang berdebat dengan seorang om-om bule soal sesuatu yang tidak kupahami karena sepertinya memakai bahasa Perancis.

Daniella menengok ketika aku masuk dan akupun berjalan mendekati mereka.

"Wah udah dateng, Bienvenue I'Homme Adrian," ujarnya masih latah berbahasa Perancis.

Aku melambai saja, bingung harus jawab apa.

Daniella mengenakan setelan ala bengkel lengkap dengan kacamatanya. Sementara om-om bule mengenakan setelan jas formal dan berdasi.

"Sini sini," kata Daniella menyuruhku berdiri di sebelahnya.

"Papa ini dia Adrian." kini ia berbicara bahasa Indonesia.

"Owh kamu Adrian ya, apa kabar? saya Reginald, ayahnya Daniella," ujar si om bule, ia rupanya lancar berbahasa Indonesia.

Ia mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan formal. Dan tentu saja segera kusambut dengan segenap jiwa raga.

Ini beneran ayahnya Daniella? aku sudah sadar sih kalo ia blasteran, tapi menemui ayahnya secara langsung itu serasa terkena efek stun. Dan lagi sepertinya Daniella sudah menceritakan tentang hubungan kami padanya. Ini sih udah double stun terus kena surpress.

"Papa tidak ingin disini dulu untuk makan siang bareng kami? padahal aku sudah masak," ujar Daniella bermanja ria pada ayahnya.

Lihat selengkapnya