Life of Maharani

Wachyudi
Chapter #16

My first love

Suasananya jadi agak canggung, duduk berdua di kamar ini. Adrian hanya terdiam menunduk, mungkin bingung dengan apa yang harus dilakukan jika seorang wanita, terlebih adalah pacarnya sendiri mengajak masuk ke kamarnya. Aku bingung sekaligus malu karena menjadi yang mengajaknya berduaan di kamarku.

"Kamar kamu bagus banget ya hehe." Adrian berusaha berbasa-basi menutupi kegugupannya di suasana yang canggung ini.

"Ya begini, Regi mau aku nyaman dengan kamarku sih hehe," jawabku sederhana dan memang harus bilang apa lagi.

Terdiam lagi kami.

Menit demi menit yang berlalu itu benar-benar menyiksa. Aku merasa tersiksa karena perasaan ini begitu ingin diungkapkan namun tertahan di dada. Rasanya tidak mungkin untuk seorang gadis mengatakan dulu. Pikiranku yang biasanya dikuasai logika tiba-tiba menjadi seperti hilang ketenangan. Kegelisahan yang perlahan memuncak meski diriku terus berusaha berlaku wajar. Dan ketika isi kepala ini semakin panas, keluarlah kata-kata dari mulut Adrian.

"Jujur aku merasa canggung harus berada berdua sama kamu saat ini. Selama setahun ini aku selalu berusaha menjaga kehormatanmu Niel, tapi saat ini aku takut kalau aku tidak bisa menahan diriku sendiri." Adrian menatapku serius, ada ketulusan dan kejujuran dalam kata-katanya, ada perasaan yang menenangkan yang seakan merangkulku.

"Haaaah ... lega rasanya sudah bilang, jujur aku risau harus berduaan begini ... gimana ya aku juga cowok normal, apa kita main game aja ya ...? kamu ada PS enggak?" Adrian tampaknya merasa lega setelah mengungkapkan isi hatinya.

Kuarahkan jari-jariku ke mulutnya, mengisyaratkan agar ia diam. Lalu kudekatkan mulutku ke telinga kanannya seraya menarik nafas agar hatiku siap.

"I want my first with you," ku beranikan diri mengucapkan enam kata itu padanya.

Adrian memundurkan wajahnya, ekspresinya tampak tidak percaya. Matanya terbuka lebar, dan tentu saja otaknya berusaha mencari makna dari apa yang baru saja kukatakan.

"Emmm ... It's true ...?" wajahnya mengisyaratkan tanda tanya, seakan berusaha meyakinkan dirinya agar tidak ambigu dalam mengartikan kata-kataku.

Aku mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.

Dan sore itu entah bagaimana waktu seperti melebur bagi kami berdua. Dengan lembut ia menyentuh pipiku, dan kami berciuman. Ini bukan pertama kalinya kami melakukannya tapi kali ini I don't know how, adalah yang paling indah hingga air mataku sempat menetes. Adrian tampaknya mulai memberanikan diri melangkah lebih jauh. Sekujur tubuhku merinding sekaligus ketagihan dengan sensasi ini. Perlahan tapi pasti pakaianku mulai ditanggalkan olehnya, begitupun miliknya. Sambil terus menyentuh tiap lekuk tubuhku, Adrian mengatakan isi hatinya.

"Jangan kecewa kalau aku belum ahli, this is my first too," ujarnya sambil tersenyum menunduk di hadapanku.

Kudekapkan wajahnya ke dadaku, menenangkannya, lalu kamipun kembali berciuman. Selanjutnya kuberanikan diri untuk jadi yang menjamah tubuhnya. Tak kulewatkan satu bagian pun dari dirinya. Memastikan momen ini akan selalu dalam terpaku di ingatannya.

Waktu semakin bergulir ketika kami semakin panas dan peluh mulai bercucuran. Ketika aku dan Adrian merasa cukup dengan semuanya, kuberikan senyum terbaikku, menatapnya, lalu mengangguk memberinya isyarat agar segera melakukannya. Adrianpun menatap mataku kala sensasi rasa sakit itu perlahan mulai kurasakan. Air mataku sempat menetes lagi, aku bahkan menutup wajahku dengan punggung tangan karena rasa malu bercampur rasa sakit namun anehnya aku menginginkannya. Sore itu jadi saksi bisu, saat kuserahkan mahkota cinta sejatiku pada pria yang juga mencintaiku lewat laku lembutnya.

---

"Kamu udah ngelakuinnya sama Adrian kan?" tanya Vero membuyarkan lamunanku.

"Maksudnya gimana? melakukan apa?" aku agak salah tingkah menanggapi pertanyaan Vero.

"Cuma ada dua alasan orang genius jadi bodoh, pertama stress banyak beban hidup kayak aku, atau kedua lagi jatuh cinta kayak kamu. Dan kamu enggak mungkin selingkuh, not your type. Jadi kesimpulannya cuma satu, kalian udah melangkah agak jauh. Kamu udah ngelakuin seks kan sama Adrian? kamu melamun sambil senyum-senyum Ella!" tidak banyak yang sadar kalau Vero memang hampir sama geniusnya denganku.

Nilai akademiknya saja selalu di posisi kedua dalam satu angkatan dan hanya terpaut 57 poin dari nilaiku. Dan hal yang paling kuwaspadai dari dirinya adalah deduksinya yang cukup handal yang kini tengah menjeratku yang sedang, ya seperti yang dia katakan, 'bodoh'.

Aku mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.

"Okeeeeey so ini cuma kamu jadikan pengalaman saja kan, don't take it serius dear, especially to him, please." Vero menggenggam erat tanganku, menatapku tajam.

"Kamu pake kontrasepsi kan?" tanyanya lagi.

"Enggak, Ver, this my first time, wanna made it special," jawabku masih dalam mode bodoh dan polos.

"Oh my, I did that, you know, past before and always use it." Vero tampak menyayangkan tindakanku. "Semoga enggak jadi janin ya!" tegasnya, menarik kepalaku ke dadanya dan memelukku erat.

"Kalian setidak sukanya itu ya sama Adrian?" pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu aku tanyakan karena bahkan alasan nya pun sudah aku pahami.

"Kamu paham sendiri kan alasannya?! kuakui dia pria setia hanya saja, you both, even Vior can feel it, not pair," jawab Vero.

Tiba-tiba air mataku menetes sedikit demi sedikit, mengalir melewati pipiku meski aku tidak menangis kencang.

"Oh Ella, maaf, Vero enggak bermaksud nyakitin hati kamu." Vero melihatku, dan langsung memelukku lebih erat.

"Enggak apa-apa, justru Ella tau kalau kalian sahabat sejati, karena kalian bahkan enggak bisa menutupi kejujuran kalian. Ella paham tentang bagaimana enggak pairnya aku dan Adrian. Tapi seperti yang banyak dikatakan tentang cinta, 'love is blind', makasih kalian selalu menjadi sahabat terbaikku," tangisku agak tidak tertahan, perasaan yang selama setahun ini menghantuiku pun akhirnya bisa kulepaskan.

"Panjang juga bicaramu, apapun itu kami sayang kamu Ella, kamu itu malaikat buat kami, kamu udah nyelametin hidup kami." Vero berkata penuh ketulusan.

Lihat selengkapnya