Enam tahun yang lalu
Bu Arunika mondar-mandir di ruang keluarga, entah apa yang ada di pikirannya. Sementara suaminya, Pak Iskandar tampak sedang membaca koran namun dengan agak terganggu akan tingkah istrinya.
"Kenapa sih Ma?" tidak tahan, ia akhirnya bertanya.
"Ini loh ... gimana? masa Abak indak kepikiran?" jawab Bu Arunika masih tidak menjelaskan alasan dari risaunya.
"Kepikiran apo kau induak bareh?" kembali Pak Iskandar bertanya dengan lembut.
"Angrea, si galak, gimana bilangnya?" jawab Bu Arunika kembali masih berupa teka teki.
"Memang Bundo mau bilang apa?" suaminya mencoba tetap bersabar.
"Tapi coba duduak lah dulu," ajaknya lembut.
Bu Arunika lalu duduk di sebelah Pak Iskandar.
"Lusa kan keluarga Nak Razi mau datang untuk membicarakan perjodohan Angrea. Seperti yang Abak tahu, perjodohan keduanya sudah kita sepakati dari lama. Awak takut Angrea menolak. Jauh-jauh mereka datang dari kampuang, masa harus kecewa," terjawab sudah sumber kerisauan bu Arunika.
Pak Iskandar menghela nafas, menengadah sebentar ke langit-langit. Lalu lekat-lekat menatap mata istri tercintanya itu sembari menggenggam tangannya.
"Wahai Induak bareh, Arunikaku sayang, Insyallah semua akan lancar, serahkan pada Sang Kuasa agar urusan ini dipermudah," jawab Pak Iskandar bijak.
Bu Arunika terdiam sebentar, lalu ia memandang wajah suaminya itu.
"Awak bilang sekarang ya ke Angrea," ujar ibu empat anak itu dan dijawab anggukan oleh suaminya.
---
"Tok tok tok ...."
"Angrea, buka Nak, bundo mau masuk," ujar Bu Arunika.
Pintupun dibuka dari dalam oleh Angrea, lalu ia kembali ke kasurnya untuk rebahan. Rupanya Angrea tengah bersantai sambil membaca majalah musik.
"Nak, Bundo mau bicara sebentar, boleh Rea duduk dulu," pinta ibunya.
Angreapun menutup majalahnya lalu terduduk. Ia mengenakan tank top kuning dengan hotpants berwarna deep brown membuat tanda Mahalini berbentuk bunga seroja di dadanya terlihat.
"Rea, Nak, engkau tahu kalau sebagai seorang anak amatlah baik dan luhur bila berbakti pada orang tua," ujar Bu Arunika membuka kata-kata.
Angrea mengangguk sambil memasang wajah penuh pertanyaan.
"Pun sama orang tua mana pula tak ingin anaknya bahagia. Hidup dengan baik serta memiliki masa depan yang cerah. Tentunya itu harapan tertinggi setiap orang tua pada anaknya ... dan juga ..." sebelum Bu Arunika melanjutkan kalimatnya, kedua tangan Angrea dengan sigap memegang bahu ibunya itu.
"Apo bundo? mau bilang apo?" tanyanya tegas.
"Lusa keluarga pak Harun mau datang untuk membicarakan perjodohan kau dengan Nak Razi, Bundo harap kau tidak menolak," jawab bu Arunika dengan cepat dan kaku karena terkejut.
Angrea terdiam, tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu.
"Ar-Razi Banta Nurhamzah?" tanya Angrea.
"Iyo Nak," jawab bu Arunika masih mematung dalam cengkraman Angrea yang kemudian melepasnya. Jantung bu Arunika berdegup kencang, was-was dengan apa yang akan dikatakan anaknya.
"Hmm okey," Angrea mengangguk lalu kembali membaca buku musiknya.
"Kau terima lamarannya Nak?" tanya bu Arunika menegaskan.
"Ar-Razi Banta Nurhamzah kan? iyo buliah," jawab Angrea mudah saja.
Tiba-tiba tubuh bu Arunika lemas seperti seluruh tenaganya lepas. Ia berbaring di kasur itu untuk melepas lelahnya. Tak disangka Angrea akan menyetujui perjodohan ini dengan mudah.
---
Ar Razi Banta Nurhamzah
Sebulan lagi aku dan Angrea Mahalini akan menikah. Kami memutuskan untuk langsung menikah setelah Angrea lulus dari sekolah menengah atas. Bahagia rasanya, dia adalah gadis yang kusukai semenjak kami bertemu lagi di rumah keluarganya di Bandung. Aku bersyukur bisa dijodohkan dengan nya.
Sabai❤️ : Assalamu'alaikum. Wr. Wb. Razi, bisa Uda ke Bandung minggu ini?
Pesan dari Angrea, jarang-jarang ia menghubungi diriku duluan.