Di bulan kedua setelah kelulusan kami dari TJ High school, Daniella melakukan kunjungan kerja ke Surabaya. Hal ini dilakukan atas perintah ayahnya. Ia mengemban misi untuk bisa mendapatkan kontrak kerja sama dengan perusahaan bernama Sabugha Holistik International Naritha Energia atau SHINE.
"Tugas Vero apa nih? like square pag in the round hole. Vero sama sekali enggak mendalami bidang energi lho Ella," protesku masih agak bingung.
"Vero nemenin aku aja koq, pendamping. Lagian yang nanti bernegosiasi kan aku," Daniella menjawab.
"Ella? ... perlu dukungan mental gitu?" kutatap Daniella agak curiga.
"Yaudah aku ikut aja, buat sahabat baikku apa sih yang enggak. Ini ada paymentnya enggak niiihh??" ujarku kemudian sambil sedikit pasang senyum lebar dan menaikan alis.
"Owh tenang aja, ada feenya sendiri koq," Daniella tersenyum padaku.
Kamipun mencoba menikmati pemandangan dari dalam pesawat kelas VVIP Jakarta-Surabaya milik maskapai Mahalini Air.
---
Ruangan dengan luas 10 x 14 meter itu terlihat estetik bagiku. Luas ruangannya aku tebak saja dari pengamatanku. Ruangan ini terasa private, dan kalau aku tidak salah perkiraan, semua kaca yang mengarah keluar adalah bulletproof.
Berbagai benda khas kantor terpajang di ruangan tersebut, dan yang oke dan paling membuatku tertarik adalah lukisan yang tampak sudah sangat berumur namun terurus dengan sangat baik. Dalam lukisan itu terlihat sesosok pria yang tubuhnya bercahaya, dan disekitarnya berdiri empat wanita yang sepertinya menembakan sinar laser dari tangannya kepada pria tersebut. Keempat wanita itu digambarkan cantik sekaligus juga menyeramkan. Lukisan yang cukup aneh dan misterius.
Kami menunggu selama kurang lebih 15 menit. Dan tepat seperti yang si sekretaris bilang, pria yang bernama Sabugha itu tiba setelah 15 menit. Sosoknya terlihat tinggi dan tegap, dari posturnya saja aku bisa tahu kalau di balik kemeja formal itu terdapat tubuh yang kekar. Dari wajah tampannya, tampaknya ia adalah seorang keturunan Tionghoa atau campuran sepertiku.
"Maaf membuat kamu menunggu," ia masuk sambil membawa sebuah notebook, lalu menatap kami.
"Lana, apa kabar?" ujar Daniella, tampaknya mereka sudah saling kenal.
"Baik, kamu sendiri gimana? selalu tampak mempesona," ujar si pria berbasa-basi.
"Aku sehat koq, oh iya kenalkan ini rekanku Veronica Wijaya, dia yang menemani aku hari ini." Daniella lalu mengenalkanku dan kami bersalaman.
"Sabugha Kelana Bhuwana, panggil aja Sabugha," ringkasnya memperkenalkan namanya.
"Ayo duduk, sudah ada yang nyuguhin?" si Sabugha tampak lebih santai.
"Udah, nih, mantep banget imperial tea," ujar Daniella sambil menunjuk seperangkat jamuan teh dan biskuit serta manisan madu.
"Okey jadi gimana? ada yang mau kamu obrolin?" tanya si Sabugha to the point.
"Strike to the point, like always." Daniella tersenyum manis pada Sabugha.
Sedikit banyak aku agaknya bisa menerka-nerka dari tingkahnya Daniella. Jelas ia sedang agaknya, mungkin, 'become a bit tempting' pada Sabugha.
"Aku kurang suka chit-chat," balas Sabugha yang justru terlihat serius.
"Aku langsung saja ya. Papa bermaksud mengadakan kerjasama soal energy harvester dengan SHINE. Aku harap kamu mau mempertimbangkan hal itu," ujar Daniella mulai masuk ranah bisnis.
"Ya sudah kuduga sih. Aku sudah pernah menjelaskan soal ini pada beliau. Teknologi yang diinginkan ayahmu itu bisa saja disalahgunakan. Saat inipun aku menggunakan hal serupa secara terbatas dan tidak diperjualbelikan, cela risque de Daniella," jawab Sabugha dan bisa kurasakan ada tekanan dari kalimatnya.
"Tidakkah kamu mau mempertimbangkannya? bila RAGE dan SHINE bekerja sama bukankah hasilnya akan luar biasa," Daniella masih berusaha masuk.
"Banyak nyawa yang dipertaruhkan hanya untuk keuntungan sepihak, ini bertentangan dengan prinsipku." Sabugha sedikit mereda, jelas sekali ia tampak bijak.
Dari penjelasan Daniella, Sabugha bahkan sebenarnya seumuran dengan kami. Tapi tampaknya ia adalah pria yang amat bijak. Ia tampak berurusan dengan dimensi yang berbeda dengan kami berdua.
Daniella terdiam sebentar.
"Maaf, sungguh, aku mau bantu untuk mengembangkan bisnis keluargamu, tapi jangan yang itu," ujar Sabugha seakan sudah bisa membaca isi kepala Daniella.
Daniella menggeser posisinya dan duduk merapat pada Sabugha.
"Kalau ... kamu mau menyetujui proposal ini, aku mau melakukan apa saja untukmu, apa saja yang kamu minta Lana." Aku cukup terkejut ketika Daniella perlahan membuka satu atau dua kancing bajunya dan mengekspos sebagian dadanya.
"Atau kami berdua?" godanya lagi pada pria berpostur tinggi itu.