Hampir dua bulan berlalu semenjak aku dan Vero berbicara soal apa yang sudah kulakukan dengan Adrian. Akupun sudah memastikan bahwa aku tidak hamil. Ya mungkin tidak semudah itu untuk hamil, dan karena memang pada saat melakukannya aku sudah menghitung masa suburku, I'm not stupid.
Tapi setelah konflik dengan Vero entah kenapa Adrian seperti enggan menemuiku. Pesankupun seperti diabaikannya, sebulan ini ia seakan menjauh. Kucoba mencari variable yang mungkin menjadi alasan tindakannya itu, namun satu-satunya yang mungkin hanyalah aku dicampakkannya setelah kuserahkan keperawananku, mengingat seharusnya masalah ini sudah clear. Hal yang jelas tidak aku sukai, namun seperti prinsipku, fakta ya fakta meski seringkali tidak mengenakan.
Tapi meskipun begitu harusnya ia justru jauh lebih agresif, maksudku latar belakangku tentu membuatnya jadi lebih semangat bukan?! untuk bisa berjodoh denganku. Bila kami menikah tentu yang diuntungkan adalah Adrian. Ia bisa mengangkat derajat keluarganya jauh lebih baik. Meski tanpa campur tangan Regi sekalipun, aku sendiri sudah cukup mapan dan berada. Aneh kalau kini Adrian meninggalkanku untuk alasan sesepele seperti sudah mendapatkan keperawanan pacar.
Kucoba saja menelponnya, di jam ini harusnya ia sedang lenggang. Namun sebelum aku sempat melakukannya, tiba-tiba ada pesan masuk dari Adrian, at least.
Ma Che'rie : Niel, mf slma ni q ssah dhbungi, pkiranku sdg kalut, bs tdk bsk sore jm 4 ktmu dtempt bys.
isi pesannya cukup panjang, dan kalimatnya terasa begitu khusus. Anehnya ia masih suka mengirim pesan dengan disingkat meski sudah kuminta untuk biasa saja.
Aku berpikir, ada apa? sudah sebulan lebih susah dihubungi dan kini tiba-tiba minta ketemu.
Besoknya seperti biasa Erik mengantarku ke taman Sumber. Tempat aku dan Adrian biasa bertemu jika kami ingin berkencan. Meski sepertinya dalam setahun ini itu cuma terjadi lima kali seingatku. Kuminta Erik untuk mencari tempat cuci mobil, iapun paham bahwa aku tidak ingin diganggu. Atau lebih tepatnya aku tidak ingin Adrian terganggu dengan kehadiran Erik. Untungnya baik di aksesoris dan handphoneku sudah dipasang pelacak dan silent alarm yang terhubung langsung dengan handphone Erik. Setidaknya itu yang selama ini membuat Erik mau meninggalkanku sendirian bersama Adrian.
Kucoba mencari sosoknya diantara sosok-sosok manusia. Setelah mencoba celingak-celinguk aku akhirnya menemukannya sedang duduk di bawah sebuah pohon Mahoni.
"Hi cowok, sendirian aja," ujarku menyapanya dengan menggodanya.
"Owh jadi gini ya kalo enggak ada aku?" balasnya menimpali candaanku.
Kupeluk Adrian dengan sangat erat, melupakan bahwa kami sebenarnya sedang ada di tempat umum.
"Kangen banget," kataku meluapkan perasaan rindu selama satu bulan ini.
"Ya ampun Niel, ini banyak yang liatin." Adrian gugup setengah mati. Orang yang lewat memang jadi melihat pada kami.
---
Akupun duduk disebelahnya, sambil mengeluarkan jus goji berry yang kubawa.
"Minum dulu nih masih dingin, dibawa pakai cooler bag," kataku sambil menyodorkan sebotol jusnya.
"Makasih." Adrian mengambil jus goji berrynya dan meminumnya beberapa teguk.
"Kamu kedenger serius banget di chat, tu vas bien?" tanyaku yang masih diganduli perasaan mengganjal sampai-sampai latah berbahasa Perancis.
Adrian pun terdiam, dan suasana tiba-tiba menjadi hening dan terasa tidak bersahabat.
"Niel, kita putus aja yuk!" sebaris kalimat keluar dari mulut Adrian.
Aku membeku, kata-katanya seperti kilat menyambar di kepalaku.
"Putus, kamu bercanda kan?!" tanyaku, benar-benar serius bertanya karena saat ini bahkan malaikat mautpun tidak berani mengusikku yang sedang diombang-ambing berbagai emosi.
Kata itu jelas menjadi momok yang mengerikan bagiku. Sangat illogic, tak beralasan dan konyol.