Life of Maharani

Wachyudi
Chapter #26

Kabar hitam

Seminggu lebih semenjak aku putus dari Adrian. Masih ada rasa sakit di hatiku, masih belum bisa terima dengan semua ini. Namun itu tidak akan menghancurkanku, mentalku sudah dididik untuk cepat pulih. Tidak akan kukorbankan Le Viral.id, Pink Velvet, RAGE, dan keluarga besarku hanya karena hal ini. Tugasku tetap kulakukan dengan baik, bahkan aku masih menerima tawaran on air maupun off air untuk Pink Velvet.

Siang ini kuutak-atik ulang penemuan lamaku, mesin regenerator. Di "bengkel" khusus yang ada di rumahku ini aku bisa mencoba segala macam uji coba pada alat demi menyempurnakannya. Regi menyediakan semua hal demi menunjang bakat anak-anaknya.

"Mencoba menghidupkan penemuan lama Uni?" Marvellina muncul dari luar kala aku mengutak-ngatik alat ini.

Jarang sekali kami mengobrol, sedikit sekali kami saling mengenal, padahal kami pernah tinggal di rahim yang sama. Dan sekarang, kami telah bertahun-tahun tinggal bersama di rumah ini.

"Ah iya ... ada proyek yang menunggu kalau bisa memfungsikannya lagi," jawabku sembari menoleh ke arahnya.

"Butuh bantuan?" ia menawarkan diri.

Kutatap wajahnya, tidak ada yang aneh, sepertinya ia memang murni ingin dekat denganku. Kuanggukan kepala menyetujui tawarannya.

Berjam-jam kami menghabiskan waktu untuk mengutak-atik, melewati berbagai uji coba. Jika kuingat lagi apa ya alasanku menjauh darinya. Dia adalah adik yang cukup baik.

Ah setelah berkutat dengan sulitnya menyelaraskan core dari regenerator dengan empat buat penyelarasnya, akhirnya aku ingat alasannya. Aku sempat membencinya karena ialah alasan Amaku meninggal. Ama meninggal karena melahirkannya, ia mengalami komplikasi saat melahirkan. Kata Regi, saat itu dokter memberi pilihan padanya untuk memilih antara Amaku atau Marvellina. Regi sebenarnya sudah memilih tuk menyelamatkan Amaku, tapi segalanya menjadi rumit kala Ama menolak. 'anak ini berhak hidup, jangan renggut itu darinya, aku yakin aku kuat' kalimat terakhir yang Amaku katakan pada Regi.

"Bersamaan Uni." Marvellina memberi aba-aba untuk meletakan penyelarasnya bersamaan.

Kuanggukan kepala tanda siap, perlahan-lahan kami meletakannya. Benda ini harus dipasang bersamaan dan perlahan-lahan karena corenya bisa merasakan perbedaan muatan yang jika ada perbedaan jarak terlalu jauh maka akan terjadi gaya tolak-menolak.

Menit itu keajaiban terjadi, kami berhasil menyelaraskannya dan corenya beroperasi dengan baik sehingga mengeluarkan gelombang halus yang bisa meregenerasi sel hidup.

"Yeeeayy berhasil," ujarku senang.

"Voilaaa ... bien joué Uni." Marvellinapun ikut berjingkrak.

Kami melakukan tos high five merayakan keberhasilan kami. Mungkin adalah high five pertama kami.

Hal yang rupanya membuat kami merasa malu setelah bertahun-tahun jarang bicara satu sama lain, suasananya sempat agak canggung.

"Tinggal dikalibrasi aja," ujarku menyelesaikan pekerjaan kami.

"D'acc Uni, good job," jawabnya.

Ia lalu berinisiatif mengambil sebuah tomat yang sudah mulai busuk dan disimpan di dekat alat. Hal ini dimaksudkan untuk menguji efektifitasnya

30 menit kemudian kami kembali untuk melihat hasilnya dan berhasil, keriput di tomatnya berkurang drastis, dalam sehari itu akan jadi tomat segar lagi.

"By the way koq kamu tahu fungsi regenerator dan cara kerjanya?" tanyaku penasaran, karena seingatku alat ini sudah jadi sampah sejak enam tahun yang lalu.

"Aku baca jurnal Uni," jawabnya membuatku mengerti.

"Owh pantas, tapi ini masih perlu pengembangan. Perlu Rogoma dari Sabugha untuk core yang lebih kuat dan tahan lama," aku menjelaskan padanya karena kuyakin iya paham. Ia mengangguk tanda mengerti.

Hatiku agak sedikit tertawa lucu, membayangkan harus bertemu Sabugha lagi. Sejujurnya akan agak memalukan mengingat apa yang sudah kulakukan, tapi untunglah Sabugha orangnya lempeng dan lagi alat ini adalah permintaannya kan.

"Uni, eum ... Uni bisa curhat padaku kalau lagi sedih," ujarnya tiba-tiba.

Akupun sontak memeluknya, rasanya kangen juga pada sosok adik kecilku ini. Sepertinya aku memang tidak adil menyalahkannya atas kematian Amaku, ia bahkan baru saja dilahirkan ketika itu terjadi.

"Maafin Uni ya Ina," ujarku masih memeluknya erat.

Marvellina balas memelukku juga, ia memang bukanlah anak pendendam.

Akupun menceritakan semuanya pada adikku, matanya berwarna cokelat persis mata Amaku ketika ia memandangku serius. Ia rupanya pendengar yang baik, kucurahkan segala isi hatiku sepuasnya padanya. Bodohnya aku selama ini sebenarnya aku punya teman untuk berbagi namun justru kujauhi. Untuk kali ini, mulai saat ini, aku bersyukur ia telah dilahirkan.

Lihat selengkapnya