Mereka sampai di ruang besar. Dari penampakannya, itu adalah ruang aula yang sangat besar. Sambil bersembunyi, mereka mengendap-endap melewati ruangan itu. Tiba-tiba dengan refleks, Ecron mendorong Ecsen kembali ke belakang. Ecsen terdorong sedikit jauh dan terjatuh. Namun yang terpikir olehnya hanya satu, apa yang harus ia lakukan?
Kaki Ecron mengenai jebakan bom yang telah dipasang salah satu pemain, jari-jari kakinya menapak diatasnya hingga bomnya meledak. Ujung jari-jari kakinya hangus karena ledakan. Darahnya mengucur tanpa henti. Tapi dari ledakan tersebut Ecron sama sekali tidak berteriak kesakitan. Dia tidak ingin terlihat takut atau sakit sedikit pun di depan adik tersayangnya.
Dengan gagahnya ia kembali berdiri walau darah di kakinya terus mengucur. Dia mencoba menghentikan pendarahannya dengan lengan jaketnya.
Pembuat jebakan keluar karena mendengar ledakan dari jebakan buatannya. Ecsen yang melihatnya keluar dari tempat persembunyiannya langsung menunjuk ke arahnya. Ecron segera berbalik dan melempar tombaknya. Kena telak. Tetapi lemparannya tidak sesuai yang ia harapkan. Tombaknya hanya mengenai pahanya.
Dia berteriak kesakitan. Ecsen menutup matanya, ia masih tidak boleh melihat hal seperti itu. Ecron mendekati orang itu sambil mengeluarkan pisau lipatnya.
"Berhenti nak", ucap seseorang. Ecron menengok dengan cepat karena mendengar suaranya berasal dari dekat Ecsen. "Tidak ada untungnya kau membunuh anak itu. Ambil saja tagnya. Dengan begitu tag yang kau miliki bertambah" lanjutnya, "siapa kau?" Ecron menatapnya tajam, "namaku Dandy. Aku pemain lama yang sudah berada di tempat ini selama 10 tahun" ia langsung menjawab.