Siang hari ini, matahari begitu terik. Panas yang menyengat memasuki pori-pori kulit hingga mengeluarkan keringat dan uap dari dalam tubuh seolah ikut terbawa keluar. Sungguh beruntung mereka yang bisa bernaung dari panas matahari siang ini. Bekerja di dalam ruangan yang ber-AC dengan wangi menyeruak beraroma lembut dan sejuk membuat siapapun akan merasa nyaman berada di dalamnya. Tapi sungguh malangnya, mereka yang harus banting tulang melawan panas dan teriknya matahari, hanya wangi aroma tubuh dan peluh keringat yang membasahi pakaian mereka. Sungguh keras perjuangan untuk hidup. Hanya untuk sesuap nasi bahkan harus mampu menerjang segala macam panca roba.
Dalam beberapa tahun terakhir, untuk memperoleh sebuah pekerjaan semakin sulit. Beberapa perusahaan swasta banyak memilih untuk gulung tikar akibat harga pasar saham yang semakin menurun, para investor luar juga banyak yang menarik kerjasama mereka karena nilai tukar rupiah semakin menurun drastis. Banyak para pekerja yang harus di PHK, ayah Asyifa salah satunya. Rudi, ayah Asyifa yang berusia 45 tahun di PHK dari tempatnya bekerja sejak 15 tahun yang lalu, terhitung karena waktu lamanya bekerja beliau seharusnya mendapatkan pesangon yang cukup besar tetapi dalam kondisi krisis seperti ini perusahaan tidak mampu membayar pesangonnya, bukan hanya Rudi tapi juga para pekerja lainnya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, keadaan Negeri yang memang sedang dilanda krisis ekonomi ini memaksa mereka untuk memaklumi setiap kebijakan yang pada akhirnya harus merugikan diri mereka sendiri.
Sejak Rudi di PHK, Asyifa berinisiatif untuk mencari pekerjaan tambahan, sebenarnya saat ini ia sedang menjalani program magang di sebuah perusahan periklanan di Jakarta. Asyifa adalah seorang mahasiswi semester enam jurusan jurnalistik. Program magang yang ia lakukan sudah berjalan selama satu bulan. Selama magang Asyifa diupah tidak cukup besar, paling tidak cukup untuk kebutuhannya sendiri selama satu bulan. Kondisi ekonomi orang tua yang membuatnya harus pandai mengelola keuangan.
"Buk maaf, apa disini ada lowongan pekerjaan?", tanya Asyifa pada seorang ibu pemilik toko pakaian di area pasar.
"Maaf mbak tidak buka lowongan", jawab ibu itu dengan sopan.
"Makasih bu." Ucap Asyifa pergi dengan kecewa.
Asyifa sudah berkeliling menyusuri pasar berharap ada sebuah toko yang akan memperkerjakan dia. Ada beberapa yang ingin menerima tapi karena ia hanya bisa bekerja setelah jam empat sore semakin sedikit kesempatan yang ia punya. Kesibukannya sebagai pegawai magang cukup menyita sebagian waktunya, Asyifa harus mencari pekerjaan yang waktunya di atas jam empat sore.
Di seberang jalan di dekat sebuah kampus swasta, berdiri sebuah toko fotocopy dan percetakan sederhana tapi cukup besar. Dengan langkah penuh keyakinan dan pasrah Asyifa mencoba menyapa pemilik percetakan itu.
"Permisi Pak, maaf kalau saya ganggu waktu Bapak," ucap Asyifa santun.
"Iya Dek, kenapa?".
"Mau tanya, kalau disini ada lowongan pekerjaan untuk jam 4 sore Pak?", tanya Asyifa matanya tersirat begitu banyak harap. Bapak itu mengamati Asyifa dari ujung kepala sampai kaki, Asyifa mendadak kikuk dan merasa tidak nyaman.
"Kalau pulang jam 9 malam Adek mau?".
"Mau Pak." Jawab Asyifa sigap.
"Nanti lusa datang kesini lagi jam 4 sore ya."
"Baik Pak," Asyifa bersyukur dalam hati sambil terus memeluk berkas lamarannya ia tidak pernah berhenti tersenyum.
***
Setelah satu jam menempuh perjalanan, Asyifa sampai di rumahnya. Rumah sederhana dengan cat tembok berwarna cream muda itu dipenuhi beberapa tanaman hias kesukaannya.
"Dari mana saja kamu?", tanya seorang wanita paruh baya yang duduk sambil menonton televisi.
"Dari tempat kerja Ma," kata Asyifa sambil berjalan pelan menuju kamarnya.
"Hari sabtu bukannya libur ya?".