Life

Purwosari
Chapter #3

Porak poranda

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, Asyifa dan Amel sampai di sebuah cafe di pinggir kota dekat dengan kampus mereka. Mata Asyifa langsung tertuju ke arah kerumunan yang berjas abu-abu, jas almamater dari kampus mereka. 

"Mel, kok kayak jas almamater kampus kita ya?", tanya Asyifa sambil melepas helmnya.

"Emang iya," jawab Amel singkat.

"Kita mau ngapain Mel?", tanya Asyifa penasaran, alisnya berkerut karena khawatir.

"Kita mau diskusi," jawab Amel, Asyifa membuntutinya dari belakang.

"Diskusi apa? Aku tidak ikut organisasi apa-apa Mel, kamu jangan bercanda!" Kata Asyifa mulai panik. 

"Udah tinggal ikut aja!" Kata Amel sedikit memaksa sambil menarik tangan Asyifa.

Mereka semua adalah mahasiswa-mahasiswi dari kampus Asyifa, mereka mengadakan diskusi untuk membahas acara demo yang akan mereka lakukan lusa nanti. Asyifa yang tidak tahu apa-apa merasa panik kenapa ia ikut terbawa, padahal tidak ada keniatan apapun untuk mengikuti acara seperti itu. 

"Mel, aku takut," bisik Asyifa pada Amel. 

"Kamu harus ikut, temenin aku!", kata Amel memaksa. 

"Tidak mau Mel," pungkas Asyifa sambil memegang erat tangan Amel, Amel melirik ke arah Asyifa, dilihatnya tatapan Asyifa sangat lugu dan polos, kali ini Amel harus mengajak Asyifa agar mau bergaul dan berbaur dengan banyak orang karena siapa tahu Asyifa akan menemukan seseorang yang nanti akan jadi pacarnya.

Setelah hampir 3 jam mereka membahas teknis acara, akhirnya mereka diperbolehkan untuk pulang. Asyifa yang sudah tidak sabar langsung bergegas menuju parkiran, sedangkan Amel masih mengobrol dengan seseorang.

Kegiatan aksi damai yang diadakan kampus mereka sebagai sikap unjuk rasa terhadap pelaksanaan pemerintah orde baru yang dipandang tidak mensejahterakan rakyat, pemerintah dipandang tidak mampu mengatasi masalah krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, krisis moneter yang terjadi hampir di seluruh belahan Negara sangat berdampak buruk bagi Indonesia khususnya. Belum lagi harga bahan pokok yang semakin melonjak tinggi, semua mahasiswi mengajukan adanya reformasi agar Indonesia menjadi lebih baik ke depannya. 

Setelah menunggu lama, Amel akhirnya keluar dengan wajah sumringah dan mata yang berbinar-binar. Amel menghampiri Asyifa yang sudah berdiri mematung di dekat motornya. Asyifa diam dan mengamati jalanan yang nampak sepi. 

"Dorrr!", seru Amel dari belakang Asyifa.

"Hish, kaget tahu!", gerutu Asyifa.

"Sorry. Kamu ngelamun terus sih, kenapa?", tanya Amel sambil mengenakan helmnya.

"Tidak tahu Mel, kayaknya aku tidak ikut acara demo, aku takut." Kata Asyifa dengan sendu.

"Kamu harus ikut pokoknya, kapan lagi kita ada acara besar-besaran kayak gini coba?".

"Ya bukan acara demo juga kali. Takut nanti ada yang rusuh atau terjadi hal yang tidak diinginkan," jelas Asyifa.

"Jangan overthinking dulu dong, semoga saja acaranya berjalan lancar, lagi pula acara demonya itu aksi damai bukan yang rusuh begitu, kamu tenang aja."

"Tapi tidak tahu kenapa aku punya firasat lain Mel".

"Makanya kamu sering main keluar, jalan gitu sama pacar. Eh iya kamu kan tidak punya pacar," ejek Amel diikuti gelak tawa. Asyifa yang diejek hanya cemberut. 

Setelah melalui banyak perbincangan dan saling mengejek akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang.

 ***

Malam hari sebelum persiapan untuk aksi damai di kampus, Asyifa merasa gejolak di hatinya semakin tidak karuan, kekhwatiran semakin mengisi otak kepala, ia benar-benar merasa takut untuk mengikuti acara besok pagi.

Dengan terpaksa Asyifa meminta izin dari kantor tempat ia magang, begitu juga dengan toko percetakan. Sedangkan orang tua Asyifa belum tahu kalau ia akan mengikuti kegiatan demo di kampus, ia juga yakin orang tuanya pasti tidak akan setuju ia ikut acara itu.

Angin berhembus dengan lembut, malam yang dingin berubah menjadi hangat. Asyifa membuka jendela kamarnya lebar-lebar, dilihatnya bulan bersinar dengan terang, bintang berkelap-kelip mencipta keindahan, langit malam semakin terpancar penuh kehangatan.

Asyifa berfikir sejenak sambil mengamati keindahan bulan, ia mulai bergumam pada diri sendiri.

"Dunia yang seindah ini sangat disayangkan, jika ternyata keadaan setiap orang tidak baik-baik saja. Harga bahan pokok semakin mahal, orang miskin sepertiku semakin kekurangan, belum lagi orang tua harus membayar cicilan rumah, belum juga pembayaran semester untuk kuliah, dari mana aku bisa dapat uang yang cukup?", keluh Asyifa pada dirinya sendiri.

Setelah begitu lama ia merenung, dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Asyifa bergegas tidur agar besok pagi ia bisa beraktivitas dengan baik. Tiba-tiba notifikasi pesan masuk muncul dari ponsel, sms dari Amel muncul di layar.

"Fa, jangan lupa besok harus hadir, ingat tidak boleh telat!", tulis Amel pada pesan. Asyifa hanya menbaca pesan itu sambil menghembuskan nafas kasar, meski takut tapi ia tidak tega menolak permintaan sahabatnya itu. Asyifa hanya bisa berdoa semoga besok acara berjalan lancar seperti yang diinginkan.

***

Selasa, 12 Mei 1998, hari itu semua mahasiswa berkumpul untuk mengadakan aksi damai. Amel dan Asyifa berdiri di tengah-tengah kerumunan, tempat yang mereka tuju untuk menggelar aksi damai adalah gedung MPR/DPR. Pukul siang mereka bergerak dan mulai berangkat menuju tempat sambil terus menyuarakan aspirasi mereka. Aksi itu berjalan cukup tenang dan damai, semua mahasiswa tertib dalam pelaksanaan. Asyifa yang turut serta hanya diam sambil mengamati semua orang yang terus berteriak meminta reformasi.

"Turunkan Presiden!".

"Ganti Reformasi!".

"Hapuskan orde baru!'.

Semua slogan semakin riuh terdengar, inti dari semua slogan itu hanya satu, mereka ingin reformasi. Masa orde baru ini harus segera dihapus dan diganti dengan pemerintahan yang lebih baik.

Di tengah kerumunan yang terus bergerak, Asyifa semakin merasa was-was, hatinya semakin bergejolak tidak karuan.

"Mel, kita pulang aja yuk!", ajak Asyifa di tengah kebisingan.

"Apa Fa? Aku tidak dengar".

"Pulang".

"Ngaco kamu! Kita udah setengah jalan, udah kamu tinggal ikut jalan aja, tidak usah ikut teriak-teriak lagi," kata Amel.

Asyifa hanya bisa menurut dan terdiam, ia berjalan mengikuti rombongan tanpa gairah dan semangat seperti yang lain. Sementara Amel disampingnya terlihat begitu bersemangat.

Setelah menempuh beberapa jam perjalanan mereka sampai di sebuah tempat, sebelum berlanjut sepertinya beberapa mahasiswa sedang bernegosiasi dengan aparat petugas Polisi. Pihak Polisi memerintahkan semua mahasiswa untuk mundur dari aksi damai, akhirnya setelah tidak berselang lama semua mahasiswa memutuskan untuk bubar. Semua bubar dengan tertib, meski diselimuti rasa kecewa tapi tetap saja semua harus berjalan dengan tenang, aman dan damai. Tapi tiba-tiba.

Dor! Suara pistol terdengar begitu lantang, semua mahasiswa mulai panik dan berhamburan, mereka berteriak dan histeris karena ketakutan tetapi suara pistol itu tidak kunjung berhenti. Gas air mata juga mulai ditembakkan, keadaan semakin ricuh dan berantakan.

Asyifa dan Amel panik, mereka saling berpegangan tangan agar tidak terpisah satu sama lain. Asyifa yang sudah merasakan firasat buruk sejak awal hanya bisa menangis tanpa bersuara, hatinya meronta meminta tolong, tangannya begitu erat menggenggam tangan Amel.

Keadaan semakin tidak terkendali, beberapa mahasiswa dan polisi mulai terjadi bentrok dan saling melempar batu.

Blug!

Sebuah batu berukuran sedang tepat mendarat ke atas kepala Asyifa dengan cukup keras. Asyifa yang menggenggam erat tangan Amel spontan menyentuh kepalanya yang terasa panas, tangannya merasakan ada cairan kental yang keluar.

"Darah," kata Asyifa mati kutu. Amel panik yang melihat Asyifa mematung saking terkejutnya melihat darah.

"Mel aku berdarah," kata Asyifa lagi dengan diikuti derai air mata karena menahan sakit.

"Asyifa!", teriak Amel histeris tidak tega melihat sahabatnya begitu. Di peluknya Asyifa dengan erat sambil terus berlari mencari bala bantuan.

Tangan Asyifa semakin penuh dengan darah yang mengucur dari kepalanya, Asyifa cukup lemas dan tidak mampu berlari lagi, sementara keadaan semakin ricuh tidak terkendali.

Setelah terus berlari, mereka akhirnya bisa keluar dari kericuhan. Tidak jauh terlihat sebuah posko PMI, mereka berjalan ke arahnya.

"Tolong! Tolong!", teriak Amel sambil memapah Asyifa. 

"Kenapa?", tanya seseorang, dia adalah relawan dari anggota PMI.

"Kak tolongin teman saya, kepalanya kelempar batu," kata Amel panik.

Lihat selengkapnya