⪩⪨
Cathaniya menutup kasar pintu rumahnya. Gadis itu menghembuskan napas saat kembali teringat dengan sosok pria muda yang mengganggunya sebelumnya. Sesaat setelah mendengar kalimat pria muda itu Cathaniya berbalik menatap lambaian tangan yang diarahkan kepadanya.
Namun, yang membuat Cathaniya kesal adalah cara pria muda itu memandangnya. Dalam dan intens, seolah sedang mencari sesuatu di dalam dirinya.
“Sudahlah! Tidak akan ada habisnya jika aku memikirkan orang aneh itu!”
Cathaniya menggenggam erat kantong belanjaan berisi sayur dan roti kering yang dibelinya dengan sisa uang hasil gaji sebagai penjaga perpustakaan. Gadis itu melirik ke arah kamar Aganio yang hening dan sepi.
Setelah meletakkan belanjaannya di dapur, Cathaniya memeriksa penghangat ruangan yang dibelinya untuk menghangatkan tubuh Aganio. Senyum tipis hadir di wajahnya saat melihat alat tersebut berfungsi dengan baik.
“Aku akan segera mendapatkan potion tingkat tinggi untuk, Abang!” Cathaniya menggenggam erat tangan dingin Aganio.
“Tunggu aku ya, Bang! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!”
Cathaniya menundukkan kepalanya dan membiarkan air matanya kembali mengalir. Sekuat apa pun dirinya menahan rasa sakit dan kesepian, tetap saja ada celah yang membuat air mata itu kembali mengalir.
Cathaniya hanya punya Aganio. Kedua orang tua mereka sudah meninggal karena serangan giyo saat keduanya sedang berada di perbatasan Akania.
Saat itu dirinya masih berusia enam tahun dan Cathaniya ingat dengan jelas bagaimana takdir merenggut kedua orang tuanya. Ketika Cathaniya kecil hendak menyerahkan bunga untuk sang ibu, serangan itu datang mengacaukan segalanya.
Di depan matanya, suara kesakitan yang menggema. Menghamburkan cairan merah yang mengenai rambut Cathaniya dan tubuh yang tak bernyawa itu berakhir jatuh di sampingnya.
Untunglah saat itu Aganio dengan cepat membawa Cathaniya menjauh. Meninggalkan jasad kedua orang tuanya yang mulai menghilang di makan oleh para parasit yang berdatangan.
Sejak saat itu, hidup bahagia Cathaniya berubah. Aganio mulai mengajarkan sang adik tentang penggunaan senjata, agar kelak di masa depan gadis itu juga bisa melindungi dirinya sendiri.
“Ruangan ini cukup berdebu,” ungkap Cathaniya yang kini sudah berada di ruang bawah tanah milik keluarganya.
Meski rumah mereka hanya terbuat dari kayu dengan dua lantai. Namun, pada bagian rumah itu terdapat ruang rahasia yang hanya bisa dibuka oleh Cathaniya dan Aganio. Ruangan yang disiapkan kedua orang tuanya, jika sewaktu-waktu terjadi situasi yang mendekak.
Cathaniya dan Aganio sering menggunakan ruangan itu untuk mengembangkan kemampuan fisik mereka, serta melatih kekuatan mereka saat bangkit sebagai seorang hunter.