Nara Anna Winata, duduk di depan cermin kamarnya. Bayangan dirinya terpantul jelas di sana sosok dengan senyuman manis yang selalu berhasil memukau siapa pun yang melihatnya. Senyum itu adalah perisai, topeng sempurna yang ia kenakan setiap hari agar orang lain tidak ingin tahu kehidupannya yang tak sejalan dengan apa yang ia inginkan.
“Nara, cepat turun! Jangan sampai terlambat!” Suara ibunya menggema dari lantai bawah, memecah keheningan kamar.
Nara menghela napas panjang, merapikan seragamnya dengan tergesa, lalu turun ke ruang makan. Di sana, ibunya sudah berdiri di depan meja, sibuk menyusun piring sambil meliriknya dengan tatapan penuh ekspektasi. Dengan ragu ia langsung menghampiri ibunya.
“Kamu sudah selesai latihan matematika? Ingat, besok ulangan. Jangan sampai nilai kamu turun, ya. Dan nanti sore jangan lupa les tambahan,” ujar ibunya tanpa jeda, tanpa memberi Nara ruang untuk menjawab.
Nara hanya mengangguk mendengar perkataan ibunya, meskipun hatinya penuh keraguan. Sebenarnya, sejak semalam ia ingin meminta izin untuk main bersama teman-temannya sore ini. Setelah mengumpulkan keberanian, ia akhirnya membuka suara.
“Bu, nanti pulang sekolah boleh nggak aku main sebentar sama teman-teman? Nggak lama kok, cuma sebentar aja.”
Ibunya, yang sedang sibuk menata piring di meja makan, menoleh cepat. Tatapan penuh ekspektasi itu berubah menjadi sedikit tajam. “Main? Kamu lupa kalau besok ada ulangan? Belajar dulu yang benar. Sore nanti kamu sudah ada les tambahan, jadi nggak ada waktu untuk main-main.”
"Tapi, Bu…” Nara mencoba menyela, tapi suara ibunya langsung memotong.
“Nggak ada tapi-tapian, Nara. Fokus sama yang penting dulu. Nilai kamu nanti turun, kalau waktu kamu dihabiskan buat main yang gapenting, nanti kamu sendiri yang rugi,” ujarnya dengan tegas.
Nara hanya bisa menghela napas kecil. Ia menoleh ke arah ayahnya yang sedang membaca koran di meja makan. Lelaki itu langsung menutup koran dengan gerakan santai, meletakkannya di samping piring, lalu berkata tanpa banyak emosi, “Ibu kamu benar. Jangan buang waktu buat hal-hal nggak penting. Lihat aja teman kamu yang lain, ada kok yang lebih mementingkan waktu buat belajar dibandingkan teman kamu yang pengennya main.”
“Iya, Ayah, aku gajadi main,” jawab Nara, kali ini dengan nada datar. Ia menunduk, melanjutkan sarapan tanpa semangat. Kata-kata mereka terus berputar di pikirannya, membuat rasa kecewa yang perlahan menjalar.
Setelah selesai, ia mengambil tas dan berpamitan dengan ibunya. Di depan rumah, ayahnya sudah menunggu di dalam mobil, siap mengantarnya ke sekolah. Seperti biasa, perjalanan berlangsung dalam keheningan.