Pagi itu, Nara berdiri di dekat jendela kamarnya. Langit biru yang cerah membentang di hadapannya, warna yang memukau dan menenangkan sekaligus. Biru itu mengingatkannya pada sesuatu—lukisan Haidar yang tak sengaja ia lihat kemarin. Lukisan yang didominasi warna biru itu terus menghantui pikirannya.
“Kenapa ya semuanya biru?” gumamnya pelan sambil menyentuh kaca jendela. Dalam hati, ia tahu rasa penasarannya ini tidak akan hilang sampai ia mendapatkan jawaban.
Tanpa sadar, ia mulai bersenandung mengikuti suara musik di handphonenya.
"Langit dan laut saling membantu, mencipta awan hujan pun turun-," Lagu kecil itu meluncur begitu saja dari bibirnya, ringan dan tanpa beban.
Namun, kebebasan itu tidak berlangsung lama. “Nara! Kamu ngapain di atas? Cepat turun! Jangan lama-lama!” Suara ibunya yang tegas menginterupsi.
Nara tersentak, berhenti bernyanyi, dan melirik jam dinding. Sudah pukul 6:45 pagi. Ia segera mematikan ponselnya dan mengambil tasnya dan berlari menuruni tangga.
Di ruang makan, ibunya sudah berdiri dengan wajah penuh ekspektasi. “Kamu itu ngapain aja tadi? Kalau terus terlambat begini, Bukannya bantu ibu beres beres rumah, buang-buang waktu sama hal ga berguna saja kamu."
“Maaf, Bu. Aku tadi cuma…” Nara mencoba menjelaskan, tapi kata-katanya langsung dipotong.
“Cuma apa? Kamu pikir kamu dengan bersantai-santai saja ulangan hari ini bakal mudah? Ingat, Nara. Kamu harus lebih disiplin. Jangan kayak anak-anak lain yang cuma main-main,” ujar ibunya sambil menyodorkan roti bakar ke arahnya.
Nara menunduk, menerima potongan roti itu tanpa bicara. Ayahnya, yang duduk di ujung meja, ikut menambahkan. “Ibumu benar, lihat temen kamu yang tidak mementingkan main, anak itu pintar karena dia nggak pernah buang waktu untuk hal nggak penting.”
Kata kata yang diucapkan oleh ayahnya membuat hati Nara sedikit tergerak. Ia ingin berkata bahwa ia sudah berusaha dan berusaha untuk menuruti perkataan mereka. Tetapi bibirnya terlalu berat untuk memberitahukan hal itu.
Setelah sarapan, Nara berpamitan dan pergi ke sekolah. Selama perjalanan, pikirannya kembali melayang ke lukisan Haidar. Bayangan biru itu terasa begitu kuat, seperti memanggilnya untuk dimengerti.
---
Di sekolah, suasana kelas mulai riuh ketika guru membagikan kertas ulangan. Nara duduk di bangkunya, mencoba fokus pada soal-soal di depannya. Namun, pikirannya terus berputar.
Ia mencuri pandang ke arah Haidar, yang duduk di barisan depan. Anak itu terlihat tenang, mengerjakan soal tanpa ragu. Wajahnya serius, tanpa ekspresi, seperti mesin yang sudah diprogram untuk menyelesaikan tugasnya.
Nara menggigit bibir bawahnya. Rasanya sulit untuk tenang dan fokus kali ini. Ia merasa ada yang salah dalam dirinya.
Ketika bel berbunyi, Nara menyerahkan kertas ulangannya dengan perasaan campur aduk. Ia yakin sebagian jawabannya benar, tapi ada bagian yang ia kerjakan dengan asal karena pikirannya terlalu terganggu.
Saat istirahat, ia memutuskan untuk mencoba mendekati Haidar. Ia butuh jawaban tentang lukisan itu—tentang biru yang terus menghantui pikirannya.
Haidar sedang duduk sendirian di taman, seperti biasa. Sebuah buku sketsa terbuka di pangkuannya, dan tangannya sibuk menggambar sesuatu. Nara mengumpulkan keberanian, lalu melangkah mendekat.