Kasur rusak, lemari tua, meja kecil di sebelah ranjang dan sebatang lilin kecil di atas meja tersebut menjadi furnitur yang terpajang di kamar gelap itu– meski tak gelap sebab adanya lilin kecil sebagai penerang. Jendela pun tampak usang, penuh debu dan jaring laba-laba.
Di atas ranjang itu berbaring pemuda yang lemah tak berdaya. Kepalanya terbalut perban, sama halnya dengan dada kirinya. Mata kiri pemuda itu pun tak luput dari luka– meski telah kering, namun dia tak akan dapat menggunakannya dalam waktu yang lama. Bisa saja mata kirinya buta selamanya.
Kelopak mata kanan pemuda itu perlahan terbuka, sorot remang cahaya lilin adalah yang pertama menyambutnya. Lalu, hal kedua yang dia lihat ialah sebuah kursi renta dari kayu yang telah lapuk.
"Dimana ini?"
Pemuda itu bertanya-tanya, tak tahu dia ada dimana sekarang. Dia gerakkan lehernya agar mata kanannya dapat melihat ke sekeliling. Hanya pemandangan kamar yang gelap dan kelam.
"Semuanya gelap... tak terang... "
Pemuda itu membatin, perasaan tak nyaman mulai menjalar dalam hatinya. Sudah sewajarnya manusia takut akan gelap, bukan? Apalagi jika kau menemukan dirimu sendiri terbangun dalam kondisi terluka dan berbaring di kamar gelap yang asing bagimu.
"Kenapa aku bisa ada disini?"
Pintu berderik kala pemuda itu tengah bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Langkah kaki terdengar memasuki kamar dan mendekat ke arah sang pemuda.
Dengan mata kanannya pemuda itu pandanf ke arah suara langkah kaki itu terdengar. Rupanya, seorang gadis Priest yang memasuki kamar sang pemuda.
"Sudah bangun, ya? Aku senang melihatnya."
Si gadis duduk di atas kursi yang ada di sebelah ranjang. Dia melipat tangan di atas paha sambil menebar senyum pada sang pemuda. Manis, itulah yang pertama kali terlintas di benak sang pemuda. Kala dia pandang mata Priest itu, sepasang manik biru terang lah yang dia dapati. Rambut sang Priest berwarna pirang, panjang se tengkuk.
"Namaku, Alvia Axelia, salam kenal."
Senyumnya tidak luntur saat memperkenalkan diri. Bukankah dia manis? Dipadu dengan lesung pipi di sebelah kanan, wajah Priest bernama Alvia itu amatlah cantik.
"Dimana aku?"
"Kau sekarang ada di bilik perawatan Tuan Eire. Kami menemukanmu pingsan di hutan seminggu yang lalu. Beruntung kami berhasil menyelamatkanmu, sebab luka-lukamu itu sangatlah parah. Sang agung masih memberimu kesempatan kedua."
"Seminggu? Kalian menemukanku di hutan?"
"Iya, begitulah." Alvia sadar raut pemuda itu kebingungan, " Lalu, kalau boleh kutahu siapa namamu?"
Si pemuda mengerjap beberapa kali, tatapannya terpaku kepada Alvia yang bertanya. Hening untuk beberapa saat mengisi jeda percakapan diantara mereka. Pemuda itu berusaha keras mengingat siapa namanya, namun usaha itu akhirnya sia-sia.
"Aku tidak ingat, " jawab si pemuda lesu.