Fajar, kala surya belum terangkat oleh pagi yang memaksanya bertahta– saat raga masih terlelap dalam buaian mimpi yang memaksa diri untuk tetap terpejam. Di saat sebagian orang memilih untuk menyerah pada dekapan lembut ranjang dan hangat kemul yang membekap seorang pemuda memilih memberontak dan menerobos keluar bilik kamarnya.
Dia hirup dalam-dalam udara fajar yang sejuk lagi menyegarkan. Tak dia biarkan se inci sudut pun kosong dalam paru-parunya. Seusai memanjakan diri dengan udara pagi pemuda itu menghembuskan nafas dari mulutnya. Uap mengepul dari mulutnya akibat perbedaan suhu nafas dengan udara di luar tubuh pemuda itu.
Matanya berbinar, senyum terpancar di bibirnya. Raut wajahnya menunjukkan kepuasan yang mendalam.
"Jadi, ini yang namanya pagi?"
Pemuda bernama Hikaru itu berkata demikian sebab ini adalah kali pertamanya menikmati suasana pagi. Lebih tepatnya kali pertama semenjak pemuda itu kehilangan ingatannya.
note: well, mungkin barusan terdengar konyol tapi entah kenapa ane pengin masukin dialog itu, wkwkwk.
"Apa yang lain masih tidur?"
Hikaru berpikir, dia menelisik jauh ke gedung Panti yang ada di sebelah kanan bilik rawat. Lalu, di sebelahnya lagi ada semacam kandang berisikan ayam petelur yang berukuran sedang. Isi kandang sendiri terbilang cukup banyak, ada sekitar 30 ekor ayam dalam kandang tersebut.
"Apa Alvia masih tidur?"
Rasa penasaran Hikaru mengarahkannya menuju bilik rawat yang ada di sebelah biliknya. Ada total 3 ruangan disini, dan Hikaru menempati bilik yang ada di bagian tengah. Alvia dan Raven menempati bilik yang lainnya.
Mengapa mereka berdua menempati bilik rawat tersebut? bukankah seharusnya hanya pasien yang boleh menempati ruangan tersebut? Jawabannya adalah karena tidak ada ruangan lain bagi mereka berdua untuk tidur.
Rumah Flash hanya memiliki 1 kamar tidur saja. Sedangkan jumlah ranjang di panti asuhan tersisa 3 buah, selebihnya rusak termakan usia. Lagipula, bilik rawat tersebut jarang digunakan untuk merawat pasien. Karena itulah Alvia dan Raven menempati bilik rawat sebagai tempat tidur mereka.
"Terbuka?"
Hikaru lihat pintu kamar Alvia terbuka, keadaannya gelap. Namun, ada pendar cahaya kecil yang menyala di dalam ruangan. Hal itu membuat Hikaru semakin penasaran– juga khawatir sesuatu terjadi kepada Alvia, mengingat keberadaan mereka berada di tengah-tengah padang ilalang yang di kepung Hutan Terlarang, sebuah hutan penuh Beast buas dan berbahaya.
Hikaru dekati ambang pintu dan melihat ke dalam kamar. Dadanya mengempis lega seketika, kekhawatirannya tak terbukti nyata. Alvia rupanya tengah membersihkan kamar, itulah mengapa pintu kamarnya terbuka.
Alvia sadar akan kehadiran seseorang di belakangnya. Gadis itu menarik diri dari kolong ranjang dan terkejut sebab Hikaru memperhatikannya sedari tadi dari ambang pintu. Itu kiranya membuat Alvia merasa malu dan kurang nyaman.
"Ada apa, Hikaru? Pagi-pagi kau sudah ada di depan kamarku."
"Aku hanya penasaran kenapa pintu kamarmu terbuka pagi-pagi begini."
"Aku hanya sedang bersih-bersih. Sudah jadi kebiasaanku setiap pagi melakukannya."
Alvia menyandarkan sebatang sapu yang dipegangnya.
"Begitu, rupanya. Apa aku bisa membantumu?"
"Kau... mau membantuku? Tentu, saja."
"Terima kasih, Alvia."
"Harusnya aku yang berkata seperti itu." Alvia agak berdecak heran, "Sapu satu lagi ada di depan pintu rumah tuan Flash. Ambil dulu, baru kau membantuku."
Hikaru bergegas pergi mengambil sapu yang ada di depan rumah Flash. Dia sungguh bersemangat, meski hanya sekedar membantu Alvia bersih-bersih. Tatkala sampai di depan teras Hikaru melihat Flash telah duduk di kursi kesayangannya sambil menikmati secangkir teh hangat. Sungguh syahdu bagi pria tua itu.
"Selamat pagi, tuan Flash."
"Pagi juga, Hikaru. Kau bangun awal sekali, ada apa kemari?"
"Ah, aku hanya ingin mengambil sapu. Alvia bilang ada disini, jadi aku kemari untuk mengambilnya."
"Oh, kalau begitu ambil saja. Bantu Alvia bersih-bersih."
"Baik, tuan Flash."