Tangan bayangan Raven–Arm Of Abyss–mencabik semua Swamptail yang menyerbu ke arahnya. Tak satupun dia biarkan hidup.
"Ayo, dekati aku sekali lagi!" tantang Raven.
Ada sekitar 30 lebih Swamptail yang berhasil Raven pancing ke padang ilalang. Mereka adalah beast rakus yang senang menculik hewan lalu menyantapnya bersama-sama di sarang mereka. Saat telah melihat seekor mangsa, maka Swamptail akan langsung mengejarnya tanpa pikir panjang.
Akal pikiran beast itu hanya sampai sebatas mengenyangkan isi perut saja.
Di saat yang sama Flash menghadapi 8 Swamptail bersamaan. Dia terkepung oleh kadal-kadal itu. Namun, pria tua yang selalu mengenakan rompi biru tersebut tampak tenang tanpa rasa takut.
Dipegangnya belati tajam yang berlumur darah di tangannya. Mata Flash mengerling ke segala sudut, dia menghitung banyaknya beast yang ada di sekitarnya. Flash pun mengencangkan genggaman pada belatinya, lantas menghela nafas.
Kemudian dengan gerakan memutar badan Flash menebas ke semua Swamptail yang mengepungnya.
Bukan bilah besi yang langsung membunuh kedelapan kadal tersebut. Namun, tiupan angin kencang dari tebasan Flash lah yang membunuh mereka semua.
"Raven, apa perlu bantuanku?" tanya pria tua itu.
Tampak Raven bertarung liar tanpa sedikitpun rasa ampun dalam setiap serangannya. Melihat itu Flash tersenyum masam menyadari pertanyaan bodoh yang dia lontarkan.
Di balik badan pria tua itu, seekor Swamptail mengindik pelan. Kadal itu menahan nafas, langkah kakinya lembut menapak tanah. Lantas dengan sebuah jejakkan kuat dia melontarkan diri pada Flash– berharap membuat serangan kejutan.
"UUSSHHAAAAA!!!!" desis sang kadal.
Malangnya, Flash sadar akan sergapan itu dan langsung menusukkan belatinya ke belakang.
Matilah Swamptail itu. Tubuhnya Flash biarkan jatuh pelan merosot dari senjatanya.
"Hmph, ini diluar dugaan begitu mudah." Flash membatin.
Di belakangnya, tampak 2 ekor Swamptail yang menggeram murka. Flash menghadap keduanya. Senyum khas pria tua itu tak juga luntur.
"Ayo," tutur Flash.
Termakan rayuan maut pria tua itu, kedua Swamptail tersebut berlari menyerbu. Tamatlah riwayat keduanya karena kebodohan mereka sendiri.
***
Di saat pembantaian terjadi dalam padang ilalang keadaan bilik rawat begitu aman tentram. Penghuni yang tinggal semuanya berada di dalam gedung panti.
Tanya, June dan Hesney berlatih bersama Hikaru untuk mengalirkan mana, Alvia adalah guru mereka berempat.
Ketiga anak itu telah berhasil mengalirkan mereka masing-masing, begitu gembiranya mereka dengan gelombang warna-warni di tangan mereka.
"Kak, Alvia. Lihatlah, manaku berwarna biru!" ujar Hesney.
"Aku pun sama, kak." June tak kalah gembiranya.
"Aku jingga, afinitas sihirku adalah tanah!" Tanya menimpali.
Alvia tersenyum bahagia, dia mengelus mereka bertiga yang teramat bahagia itu.
"Kalian semua anak-anak pintar," tuturnya.
Hikaru sendiri hanya dapat ikut tersenyum pada mereka. Keberhasilan mereka berbanding terbalik dengan upaya yang dilakukannya.
Pemuda itu sama sekali belum bisa mengalirkan mana di tubuhnya.
Wajahnya seketika muram, dia menunduk mengamati telapak tangan.
"Ada apa Hikaru? Kenapa kau bersedih?" Alvia mendekati pemuda itu.
"A~ah, tidak... Aku tidak bersedih," tukasnya, "Aku hanya heran kenapa aku tidak bisa mengalirkan sihir."
Alvia mengetuk dagu, angannya berusaha mencari suatu informasi dalam berkas-berkas memorinya.
"Kurasa, kau hanya butuh lebih banyak latihan saja."
Jawaban yang tidak memuaskan dari bibir Alvia. Sejenak yang dia habiskan hanya berbuah sia-sia dengan menjawab demikian.