~ Hikaru ~
Setiap malam selalu kupandang ke luar jendela bilik sempit ini. Deru tanya terus saja bergema dari dalam titik terdalam sanubariku.
Siapakah aku?
Bagaimana bisa aku disini?
Mengapa aku berada di Hutan Terlarang ini?
Kebingunganku menjadi-jadi, tersulut ambigu yang mengiringi eksistensiku di hutan ini. Aku benar-benar lupa siapa diriku, dimana tempat tinggalku, bahkan beberapa pengetahuan di dunia yang kutinggali ini.
Meski demikian, tak sulit bagiku dekat dengan orang lain. Entah kenapa, lidahku teramat fasih merangkai kata untuk diucapkan kepada mereka.
Saat gadis cantik bernama Alvia itu merapalkan sepatah mantra kepadaku aku langsung terkesima. Sebab dalam ingatan terjauhku aku belum pernah melihat hal demikian.
Simbol-simbol unik bercahayakan pendar hijau yang remang, berpadu dengan taburan kerlap kerlip cantik yang menawan. Keindahan itu memikat mataku untuk tak berpaling sedetik pun juga.
Rasanya, aku pun juga ingin menciptakan keindahan yang sama.
Akan tetapi, saat pemuda bernama Raven itu memvonis diriku yang tidak bisa menggunakan sihir dengan suatu kecacatan, rasanya mustahil bagiku untuk mengejar mimpi kecilku.
Dia adalah pemuda yang dingin, ketus dan tak ramah. Namun, aku tidak ingin itu menjadi alasan bagiku untuk menjauhinya. Malahan, aku merasa ingin tahu kenapa dia bersikap demikian kepadaku.
Rasa penasaran adalah hal yang paling sering muncul dalam diriku. Sejak sadar pada hari itu, aku seperti asing terhadap diri sendiri dan dunia sekitar. Antusiasku membumbung tinggi saat melihat sesuatu yang baru kutemui.
Ilmu sihir, jati diri, perasaan orang lain terhadapku, aku ingin tahu semua hal itu. Juga, aku menaruh rasa penasaran pada sebuah kisah panjang yang dikenal sebagai legenda makhluk abadi di dunia ini.
Kala Alvia menceritakan sepenggal kisah dari legenda itu, aku tak henti-hentinya memikirkannya.
Kisah tentang cahaya yang menerangi kegelapan, mengekang jiwa yang gugur dalam perang untuk mencegah mereka ternoda oleh sihir para undead. Tersimpan dalam anting kristal biru yang indah dan menawan, Light Soul.
"Hikaru?"
Panggilan lembut itu memecah lamunanku.
Aku segera beranjak dari atas ranjang dan membuka pintu bilik. Alvia dan anak-anak panti telah menungguku diluar.
"Katanya kau ingin membantu kami memanen sayur. Kenapa masih ada di dalam kamar?"
Manik biru itu menatapku– bibirnya tersenyum. Lesung di pipinya teramat manis di pandanganku.
"Aku... aku hanya ketiduran saja."
"Itulah sebabnya, sudah kubilang kan untuk tidur lebih awal kemarin petang?"
"Iya," jawabku singkat.
"Nah, sekarang ayo ikut kami. Tuan Flash dan Raven sudah menunggu di kebun."
Dia berpaling, anak-anak yang bersamanya menggodaku untuk segera mengekor di belakang.
Mereka begitu bersemangat, sembari berjalan mereka melompat-lompat kegirangan. Lagu tentang berkebun mereka lantunkan, raut ketiganya berseri dalam alunan nada sumbang yang mereka nyanyikan.
Sampai di kebun, aku menyaksikan dua lelaki yang nampaknya sudah sedari tadi memeras keringat. Setengah dari isi kebun sudah mereka panen hanya dengan berdua. Keranjang yang ada di sisi mereka pun hampir penuh terisi berbagai macam buah dan sayuran.
"Kalian datang juga, cepat bantu kami kalau begitu," sahut tuan Flash menyambut kedatangan kami berlima.
"Kalian dengar itu, sekarang ambil keranjang kalian dan mulailah membantu tuan Flash," perintah Alvia pada anak-anak.
Mereka sigap mematuhi titah gadis itu.
Sikapnya sudah seperti kakak kandung sendiri bagi anak-anak tersebut.
"Hikaru, kau ikut denganku."
Aku yang hendak ikut mengambil keranjang pun berhenti melangkah, "Ada apa?"
"Kita berdua akan menanam bayam yang sudah tuan Flash dan Raven panen. Tapi, sebelum itu..."
Alvia menjeda perkataannya, kiranya itu membuatku penasaran. Gadis itu membungkukkan badan untuk melakukan sedikit pemanasan.
Lantas, entah sejak kapan dia mengambilnya, Alvia menaruh cangkul di tangannya.