Di dalam perpustakaan yang gelap itu, Hikaru duduk diam menghabiskan waktu. Setiap harinya Hikaru akan memasuki perpustakaan seraya membawa lentera sebagai penerang. Selama satu atau dua jam dia berdiam diri membaca berbagai macam buku yang ada disana.
Buku tentang sihir, ilmu pengetahuan dan teknologi yang manusia kembangkan, semuanya Hikaru baca.
"Kapal udara," gumam Hikaru, "Kendaraan yang berbentuk seperti cerutu, memiliki dua pasang sayap dan tiga baling-baling yang ada di kedua sayapnya serta ekor kapal."
Hikaru terus membaca, matanya mengamati setiap detail bacaan yang tersaji di hadapannya.
"Ditemukan oleh Robert Marckow 60 tahun yang lalu... " Hikaru membalik halaman tersebut, dia pun terkesima dengan gambar yang dilihatnya selanjutnya, "Woah, jadi ini bentuk kapal udara?"
Kapal udara, adalah salah satu bukti kemajuan pesat ilmu pengetahuan umat manusia. Perjalanan antar kota, bahkan antar negara menjadi jauh lebih singkat dengan adanya transportasi canggih semacam kapal udara. Diplomasi antar negara, urusan dagang dan bisnis baik pihak swasta maupun negeri bahkan sampai pendidikan tak luput dari dampak positif keberadaan kapal udara ini.
Dan yang pasti, penemuan kapal udara semakin menegaskan supremasi kaum manusia diatas segala kaum lain dalam bidang ilmu pengetahuan teknologi serta tentunya kekuatan militer.
"Ah, dimana lagi bisa kutemukan kau? Kalau tak disini tentunya."
Gema suara Raven memantul dari ujung lorong yang gelap.
Manik ungu pemuda itu menyala, tatapannya tajam meski tersembunyi dalam kegelapan. Dia melangkah mendekati Hikaru.
"Raven, sedang apa kau disini?"
"Aku hanya ingin mengambil beberapa buku yang memuat tentang teknik sihir bayangan."
"Ada buku semacam itu?"
Raven menjawab namun nada bicaranya terdengar angkuh, "Tentu saja, semua sihir punya buku mereka masing-masing."
Raven menelisik setiap sisi rak. Jari-jemarinya menari di atas sampul-sampul buku yang berdebu– memilah mana yang merupakan tujuannya datang kemari.
"Apa kau sudah selesai latihan, atau baru akan mulai?"
"Jam berapa memangnya sekarang?"
Bayangan tiang di tengah halaman bilik rawat masih mengarah ke barat saat Hikaru bangun dan beranjak ke perpustakaan. Meski tahu waktu kapan saat ini namun Hikaru memilih tak menjawab pertanyaan Raven.
"Apa Alvia dan guru sudah tahu kalau kau kemari?" tanya Raven.
"Alvia bilang aku boleh datang kesini kapanpun aku mau. Tuan Flash juga memperbolehkanku."
Raven menyipitkan pandangannya, manik ungunya mengerling sesaat pada pemuda itu.
"Tapi, lebih baik bila kau meminta izin kepada salah satu diantara mereka. Atau kepadaku jika perlu. Memasuki rumah orang lain tanpa salam sama saja dengan menerobos masuk, tahu?"
"A~ah, iya. Aku paham akan hal itu," jawab Hikaru.
Raven menarik sebuah buku hitam dengan corak emas di sampul depannya.
"Aku pergi dulu," ucap Raven dingin.
"Iya, semoga sukses dengan latihanmu."
Tak ada jawaban darinya, Raven tak mendengar doa yang Hikaru panjatkan untuknya.
Saat memasuki kegelapan perpustakaan Raven tampak menggumamkan suatu mantra. Sigil bayangannya yang berwarna ungu pun terbuka. Keluarlah sesosok hitam kecil di atas sigil.
"Awasi dia."
Perintah Raven langsung makhluk kerdil itu laksanakan. Dia melompat ke rak buku dan menyelinap diantara jilid-jilid lembar yang ada hingga akhirnya berada di dekat Hikaru.
***
Setelah puas dengan buku, pemuda berpenutup mata itu meninggalkan perpustakaan dan pergi menuju panti. Tampak anak-anak tengah diajari oleh Alvia cara membaca dan menulis. Riang suara mereka menirukan ejaan Alvia atas beberapa patah kata sederhana.
"Hmph, mereka kelihatan senang sekali," intip Hikaru.
Tiba-tiba, suara raungan yang menggelegar mengagetkan Hikaru.
Raungan itu memekak di udara, menggetarkan hati mereka yang lemah dan rapuh, suaranya lantang terdengar. Burung-burung di hutan–di depan bilik rawat–terbang meninggalkan sarang mereka. Berbondong-bondong unggas yang melarikan diri dari arah suara tersebut terdengar.
Hawa mencekam muncul mencengkram.
Alvia segera keluar untuk memeriksa keadaan, dia pun mendapati Hikaru yang berada di depan pintu panti.
"Kau dengar itu, Hikaru?"
"Ya, aku dengar. Suara beast macam apa itu kira-kira?"
"Itulah Mold, beast yang menyerangmu waktu itu."