Halaman samping rumah yang luas dan asri. Teduh.
Hening. Tempat yang nyaman untuk bersembunyi dan beristirahat. Setidaknya begitu menurutku.
Lebih baik daripada sepetak kamar kos sempit milikku yang dijejali banyak barang. Tempat aku mengurung—atau lebih tepatnya menyelamatkan diri.
“Itu dia adikku,” kata Mbak Thella.
Aku mengangguk sopan.
Sosok itu membelakangiku. Duduk bersandar di kursi besi putih yang sandarannya melengkung. Punggungnya lebar dan agak membungkuk. Kepalanya sedikit runduk. Ia mengenakan sehelai kaus olahraga tenis garis-garis kuning-putih. Rambutnya hitam dan tak tersisir rapi. Di dekatnya ada kursi roda. Tongkat berjalan jatuh begitu saja di rumput dekat sepatu olahraga yang dikenakannya.
“Dia habis main?” tanyaku.
Mbak Thella menggeleng lemah. “Temani dia ke mana pun,” suruhnya.
“Baik, Mbak. Makasih,” jawabku. Kutinggalkan Mbak Thella segera. Kuseret langkahku mendekati sosok itu. Dia anak pemilik di Stasiun Vaganza TV dan bekerja sebagai direktur utama. Namun gara-gara kecelakaan, sebelah kakinya patah dan masih dalam tahap penyembuhan. Dari pernyataan Mbak Thella, adiknya sering murung dan menangis diam-diam. Adiknya menarik diri dari teman, rekan, dan keluarga. Enggan bertemu orang.
“Permisi,” ujarku begitu sampai di dekatnya.
Dia mengangkat pandangannya dan menoleh padaku.