Delapan bulan yang lalu.
Aku harus menghadiri rapat pukul satu siang. Materi presentasi di mejaku penuh coretan warna-warni berisi grafik penjualan Uni Parfum selama enam bulan terakhir. Namun bukan berkas-berkas itu yang kuraih. Kakiku melangkah pasti menuju ruangan HRD, membawa serta sebuah amplop cokelat di tangan berisi surat pengunduran diri. Kucopot tanda pengenalku. ID Card yang kubanggakan itu tak lagi tergantung di leher, talinya terjuntai dari genggamanku. Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi karyawan Uni Parfum.
Kuketuk pintu dan kudorong pelan. Kuteruskan langkah. Kututup pintu kembali. Bu Aya mendongak dari layar komputernya saat aku mendekat. Di ruangan itu ada sekitar tiga karyawan lainnya. Dua di antaranya masih sarapan sambil main ponsel dan bergunjing ria, meski ini sudah pukul sembilan. Mereka tampaknya belum bekerja.
“Ada apa, Melati?” tanya Bu Aya.
Kusodorkan amplop cokelat di tanganku. Ujung kanan atas amplop itu tertulis Pengunduran Diri. “Saya mau resign, Bu,” kataku.
“Ha?” Bu Aya tampak kaget, tapi tetap menerima suratku. “Kenapa?” tanyanya lagi sambil mengeluarkan selembar surat yang kulipat tiga dari dalam amplop. “Ada masalah apa?”
Kugelengkan kepala. “Nggak ada, kok...” jawabku.
Kuletakkan ID Card kebanggaanku itu di mejanya. “Ini saya kembalikan.”
“Orangtuamu sakit?” Bu Aya membaca alasan yang kutulis dalam surat itu. “Nggak ada yang rawat?”
Kuanggukkan kepala.
“Terus nanti kamu kerja apa, kalau ibumu sudah sembuh?”
“Saya berencana lanjut kuliah,” jawabku.
“Kuliah lagi?” Suara Bu Aya terdengar heran sekaligus mengejek. “Kamu kan sudah magister, ngapain kuliah lagi? Mau doktoral?”
Kuanggukkan saja kepala.
“Ngapain sih, sekolah tinggi-tinggi? Nanti nggak ada yang mau, lho. Sekarang aja udah magister, tapi belum dapat jodoh juga. Udah berapa umurmu?”
“Dua puluh sembilan tahun, makasih.” Tanpa sengaja, aku agak menggeram ketika menjawabnya. Kurasa raut wajahku pun begitu.
“Hahaa...” Bu Aya meletakkan suratku di meja.
Tatapannya padaku mulai menyudutkan. “Jangan marah begitu. Saya ngomong kayak gini selaku orangtua—orang yang sudah tua. Karyawan-karyawan di sini, kan, sudah saya anggap anak sendiri. Makanya saya nasihati.”
Kuukir senyum palsu di wajahku. “Haha, iya yaaa.... Makasih lho, nasihatnya. Akan saya ingat. Oh ya, nanti siang saya masih akan menghadiri rapat. Pak Hans sudah tahu tentang pengunduran diri saya ini. Dia sudah setuju. Jadi mulai besok, saya nggak akan masuk lagi,” ungkapku.
“Kenapa nggak dari tiga bulan lalu sih, ngajuin pengunduran diri? Kenapa baru sekarang? Nggak bisa ya nunggu tiga bulan lagi? Kan suratnya baru masuk.”
Apa katanya? Nunggu tiga bulan lagi? Bisa-bisa aku bunuh diri sebelum pengunduran diriku selesai diproses.
“Maaf, Bu. Tiga bulan lalu ibu saya baik-baik saja, ngapain saya mengajukan pengunduran diri. Dan saya nggak bisa nunggu tiga bulan lagi. Saya yakin nggak sulit bagi kantor buat cari pengganti. Akan ada banyak yang menginginkan posisi saya,” kataku.
Bu Aya terdiam sejenak. Tampaknya bukan untuk menelaah kalimatku, karena ia sibuk memasukkan suratku ke dalam map arsipnya. Sudah kubilang kan, pengunduran diriku tak berarti apa-apa bagi kantor? Benar juga kata orang-orang, bahwa bekerja cukup seperlunya saja, sebab kalau sakit atau meninggal atau gila keluarga kitalah yang repot, kantor tinggal cari pengganti.
“Kalau begitu, saya permisi dulu,” kataku.