“Temanmu yang itu?”
“Ya.”
“Yang senang main ayunan sama kamu itu?”
“Ya, sampai dijuluki penunggu ayunan.”
“Si kurus yang rambutnya agak cokelat itu?”
“Ya, yang itu.”
“Katamu dia pintar.”
“Ya, aku juga heran kenapa dia nggak jadi apa-apa.”
“Yah, kasihan.” Mama datang berkunjung ke rumah kakakku, lalu bertanya apakah aku nyaman dengan pengasuhku yang baru. Kukatakan, nyaman sekaligus tidak. Kuungkap identitas Melati. Mamaku tahu sedikit—ya hanya sedikit—tentang dia. Memang hanya Mbak Thella yang tak tahu, sebab dulu kakakku itu tinggal di Singapura bersama kakek dan nenek pihak ayahku.
“Kok kamu bisa dapat dia?” Mama bertanya pada Mbak Thella.
Kakakku itu mengedikkan bahu. “Aku kan cuma posting lowongan kerja di internet. Lah, dia mendaftar dan mengontakku. Dia langsung bilang deal setelah kukasih tahu bayarannya, bahkan sebelum kami ketemu,” jawabnya enteng sambil menyeruput minumannya. “Mana kutahu dia teman lamanya Michael. Kayaknya dia juga nggak tahu siapa yang akan diasuhnya sebelum pertemuan tadi.”
“Dia memang kelihatan kaget,” sahutku.
“Ya sudah... seenggaknya pasti nyambung kalau diajak ngomong. ‘Kan, teman sendiri,” lanjut mamaku. “Sudah menikah belum?”
Napasku mengempas marah. “Buat apa sih, Ma, nanya- nanya yang kayak gituan,” balasku. Kugelengkan kepala.“Kayaknya belum sih.”
“Emang belum. Syarat yang kuajukan buat menjadi pengasuh kan harus single,” balas Mbak Thella sambil mengerling padaku. “Dan mau tinggal di sini sementara waktu buat ngasuh dia 24 jam.”
Aku balas mengerling tajam. “Buat apa sih harus 24 jam?”
“Lo kan aneh-aneh. Malas gue,” balas kakakku itu. “Gue nggak di rumah tiap hari dan tiap waktu buat ngawasin lo. Disuruh tinggal di rumah Mama juga nggak mau lo.”
“Gue milih dan bisa tinggal di rumah atau apartemen gue sendiri, malah kalian yang ribut,” balasku tak mau kalah. “Malah nyeret gue ke sini.”