Benar kata orang-orang. Di zaman sekarang ini, mencari pekerjaan amatlah sulit. Lebih sulit lagi mendapatkannya. Delapan bulan lamanya aku memasukkan lamaran ke satu tempat ke tempat lainnya, baik kuantar langsung maupun kukirim via pos atau email, hanya tiga dari puluhan lamaran itu yang memintaku datang wawancara. Dan sepertinya ketiganya gagal, sebab tak ada kabar lagi semenjak itu.
Keuanganku menipis dengan cepat. Sewa indekos harus dibayar, belum lagi biaya makan. Internet. Uang belanja Ayah-Ibu tiap bulan. Jika tidak kukirimkan, mereka pasti curiga dan bertanya. Aku akan ketahuan. Aku amat takut mereka tahu kalau anaknya menganggur. Makanya, sebelum mereka tahu, aku harus mendapatkan pekerjaan baru. Namun, yah, nyatanya tidak segampang itu. Aku sampai menyerah sebab, hei, aku 30 tahun sekarang dan tidak ada yang mau repot-repot peduli dengan pengalaman kerjaku. Kebanyakan yang diterima adalah yang masih muda, atau punya kenalan orang dalam.
Oleh karena itu, saat melihat lowongan menjadi pengasuh orang sakit terpampang di laman Facebook teman yang juga me-repost dari akun lain, tak pikir dua kali lagi, aku langsung mengontak nomor yang tertera.
Mendengar gaji yang ditawarkan—sekaligus tempat tinggal sementara—membuatku langsung menyetujuinya. Pikirku, yang sakit pastilah anak-anak atau lansia, sebab biasanya orang kaya paling malas mengasuh dua golongan tersebut karena dianggap merepotkan dan menjengkelkan. Kalau banyak uang, kan, tinggal bayar orang, selesai. Buat apa pusing-pusing.
Rupanya yang harus kuasuh adalah laki-laki seumuranku. Teman lamaku pula.
Setidaknya itu membuatku nyaman.
Ponselku berdering saat aku hendak tidur. Layar ponsel menampilkan nomor Ibu. Sudah hampir pukul 12 malam. Kuterima panggilan itu.
“Halo?” sapaku.
“Melati.”
“Ya. Kenapa, Bu?”
“Gimana kabarmu?” tanyanya.
Jika ada yang menelepon menanyakan kabar, kau harus curiga bahwa itu bukan satu-satunya tujuan si penelepon, pasti ada urusan lain. Menanyakan kabar adalah bentuk basa-basi yang dilakukan banyak orang saat menelepon.
Semacam aturan tak kasat mata yang pasti terjadi dan berulang.
“Sehat. Baik. Ibu gimana?” balasku.
“Ibu juga.”
“Ada perlu apa?” tanyaku lagi.
“Begini...” Nah, ini intinya.
“Tadi kan Ibu mencuci....” Biasanya diawali dengan narasi panjang yang menceritakan kronologis kejadian sebagai penyebab masalah, sebelum masuk ke perkara utama.
“Kok putarannya tersedat-sendat gitu ya? Ibu kira cuciannya yang terlalu banyak, jadi mesinnya nggak sanggup mutar. Ibu kurangi cucian sampai tinggal dikit, tapi tetap aja tersendat-sendat gitu. Bunyinya agak aneh. Ibu takut, kan. Ibu matikan aja. Ibu buang airnya, eh ternyata airnya nggak mau keluar lewat—”
“Mesin cuci rusak?”
“Iya, kayaknya.”
“Terus?” tanyaku lagi dengan satu helaan napas lelah. “Masih bisa diperbaiki nggak? Sudah dicek? Coba bawa ke teknisi elektronik di ujung jalan.”
“Udah. Tadi Ibu suruh orang ke rumah buat periksa. Katanya mesin cuci kita udah rusak. Biaya perbaikannya diminta sampai satu juta. Mending beli baru daripada diperbaiki, kan?”
“Semahal itu?”
“Iya.”
Aku terdiam.
“Kamu ada uang, nggak?”
Tidak mungkin aku bilang tidak. Ibu hanya tahu aku masih kerja di Uni Parfum. Sudah tentu ia berpikir aku ada uang, makanya menelepon meski kini hampir tengah malam.
“Kalau kamu nggak ada uang sekarang, nggak apa-apa, sih. Ibu nanti nyucinya pakai tangan saja.”