Duh, udah numbuh lagi aja, baru kemarin dicukur, pikirku sembari mengamati lekat-lekat bulu-bulu halus yang menghiasi bagian bawah hidungku lewat sebuah kaca di kamar mandi. Pandanganku kemudian tertuju ke dadaku. Bukan bulu-bulu halus lagi yang tumbuh di bagian itu, melainkan rambut-rambut pendek berukuran dua sampai tiga sentimeter. Aku menghela napas panjang.
Dengan perlahan, aku mulai mencukur “kumis” tipisku dengan alat cukur. Sejenak aku berpikir apakah bulu-bulu yang tumbuh sporadis ini normal untuk seorang gadis berumur belasan tahun sepertiku. Lamunanku buyar ketika aku mendengar suara memanggil dari luar.
“Neng Wenny, ada tamu!” teriak Bibi.
Aku segera menyelesaikan urusanku di kamar mandi, berpakaian, keluar kamar, lalu menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Di depan pintu, dua orang sedang celingukan.
Belum sempat aku mempersilakan mereka masuk, salah seorang dari mereka berseru: “Ini rumah lo?!”
Aku membalasnya dengan senyuman canggung. “Ayo masuk,” ujarku.
Linda dan Irva lantas melepas sepatu mereka dan duduk di sofa sembari menoleh kiri kanan—mungkin terpana akan lukisan-lukisan antik yang menghiasi dinding, kagum akan guci-guci kuno raksasa yang berbaris di pojokan, atau tercengang karena sedang berada di ruang tamu yang ukurannya hampir sebesar masjid di sekolah kami.
Sebelumnya, aku belum pernah mengajak teman sekolah ke rumah. Lebih karena aku bukan seseorang yang gampang berteman; dan itu beralasan kuat: aku jelek. Yah, memang tidak ada seorang pun yang pernah berkata begitu langsung di hadapanku, tapi tetap saja aku merasa demikian. Yang kumiliki bukan suatu kejelekan yang membuat tidak satu orang pun memperhatikanku, tapi justru kejelekan yang membuat semua orang menoleh ke arahku tiap berpapasan. Aku pendek, berbicara tidak lancar, dan penuh bulu (mencukur bulu-bulu itu sudah terbukti hal yang sia-sia, karena mereka akan tumbuh kembali lebih cepat dari sebelumnya).
Tapi setidaknya aku beruntung, setelah tiga bulan pertamaku di SMA yang terasa macam siksaan, dua gadis yang sedang duduk di depanku ini mengadopsiku. Tingkat ketidakpopuleran yang sama, tebakku, yang secara alami menyatukan kami.
“Lupain PR, jawab dulu pertanyaan gue: lo ini anak pejabat, ya?” goda Irva.
“Bukan lah, kalo gue anak pejabat, mana mau temenan sama situ.”
“Jadi, bokap lo kerja apaan? Direktur? Rumah lo ini persis kayak rumah orang kaya di sinetron, tahu!”
Pertanyaan itu selalu jadi pertanyaan yang susah dijawab. “Hmm, jujur gue enggak tahu. Dari gue kecil, dia udah enggak ada.”
Setelah jeda canggung beberapa detik, mereka berdua berkata serentak: “Oh, sorry, Wen.”
“Eh, dia bukannya meninggal atau apa. Dia pergi aja gitu, enggak ketahuan sekarang dimana.”
“Jadi, cuma lo dan nyokap lo yang tinggal di—” Linda merentangkan tangannya—“istana ini?”