Like a Boar to a Flame (Bahasa Indonesia Version)

Endri Irfanie
Chapter #3

Lilin

Aku merasa tenggelam oleh keringatku sendiri. Berkali-kali aku mengganti posisi tidur tapi tak satu pun dapat membuatku tidur dengan tenang. Kamarku gelap dan lembab—satu hal yang kuinginkan hanyalah untuk keluar dan menghirup udara segar. Tapi, keluar kamar di tengah malam adalah sesuatu yang tidak mungkin bagiku. Mungkin, jika aku menunggu beberapa menit lagi, aku bisa tidur, pikirku.

Tak sengaja, aku melihat secercah cahaya yang berkedip-kedip dari celah kecil di bawah pintu kamar. Cahaya apa itu?

Entah beberapa menit atau beberapa jam berlalu sebelum aku terbangun dari tidurku yang tak memuaskan. Hawa panas di kamar semakin tanpa ampun. Tenggorokanku sangat kering seakan sudah berminggu-minggu aku tidak minum air. Menyalahi aturan orangtuaku, aku membuka kunci pintu dan melangkah keluar kamar.

Awalnya, aku mengira aku melangkah ke ruangan yang salah. Di luar kamarku gelap; dan sumber cahaya satu-satunya, yang tidak biasanya, adalah sebuah lilin yang hampir padam. Hal yang paling kuanggap aneh adalah mengenai dimana lilin itu diletakkan: di sebuah baskom yang berisi air. Sesaat kemudian, aku tersadar akan tujuanku keluar dari kamar. Ternyata berada di luar tidak memberikan penghiburan bagi derita yang sedang kurasakan—hawanya bahkan jauh lebih panas dibanding kamarku.

Lalu, mataku menangkap sesuatu yang berada di sudut ruangan: Mama. Apa yang sedang dilakukannya tengah malam begini? Karena aku sadar ia tidak menyadari keberadaanku, pelan-pelan aku berjalan ke arahnya. Aku memergokinya sedang menunduk di samping meja makan, memegang—bukan, memeluk lebih tepat—sesuatu dengan erat. Sesuatu itu besar dan hitam; bahkan mungkin, jahat. Akal pikiranku tak siap untuk menyaksikan sesuatu seperti itu, sehingga aku terkesiap; dan Mama pun terkejut.

Ketika Mama berpaling dan melihatku, aku tidak bisa membaca ekspresi di wajahnya. Kukira ia akan memasang pose marahnya (dahi berkerut, kedua tangan di pinggang) karena aku sudah melanggar aturan, tapi ia malah menuju meja makan dan meniup padam lilin yang tinggal seperempat itu, menjadikan ruangan itu gelap gulita.

Dengan sendirinya, aku menahan napas, takut akan konsekuensi dari membuat gerakan sekecil apa pun. Mendadak, aku terangkat ke udara oleh sepasang tangan yang tak tampak namun terasa akrab. Aku dapat merasakan aku sedang berada di gendongan seseorang. Uap napas terasa hangat di pipiku. Tiba-tiba, cahaya lampu neon membanjiri ruang tengah rumahku, mengembalikan kondisi “normal” dan mengenyahkan nuansa suram dan seram tadi.

Lihat selengkapnya