Hari sudah hampir tengah hari ketika aku terbangun. Ingatan akan apa yang terjadi dini hari tadi menyerangku dengan hebat. Sambil berbaring di kasur, aku membedah insiden itu.
Mama membawa hal yang sama, aku berkesimpulan. Sebuah wadah yang terisi air dengan sebuah lilin mengambang di atasnya. Sama persis dengan yang kulihat di mimpi anehku. Lalu, kamar yang ia masuki, kamar berpintu hitam, apa yang dilakukannya di dalam situ? Apa yang disembunyikannya dariku?
Aku turun dari lantai dua (dengan hati-hati, entah kenapa) dan menyantap sarapan telatku seperti hari-hari Mingguku biasanya. Bibi memberitahuku bahwa Mama sudah pergi keluar—membuatku bimbang harus merasa lega atau kecewa. Sebagian diriku sangat ingin menginterogasinya; sedangkan sebagian lainnya terlalu takut bahkan hanya untuk memikirkannya, takut akan apa yang mungkin terungkap. Ignorance is bliss—aku memang gadis yang memegang teguh prinsip itu.
Dari meja makan, aku mencuri pandang ke arah pintu hitam yang berada di lorong jauh. Aku tidak pernah menyadari sebelumnya, tapi sekarang aku baru sadar kalau pintu itu satu-satunya pintu bercat hitam di rumah ini; pintu lainnya berwarna putih. Penasaran dan cemas di saat yang sama, aku mendekati pintu itu, dan mencoba menggerakkan gagangnya. Terkunci. Kemudian suara seseorang mengejutkanku.
“Neng Wenny, lagi apa?” tanya Bibi.
“Oh, enggak, Wenny cuma—” saat aku melihat wajah Bibi, sebuah ide melintas di benakku. “Bi, Bibi kan udah lama kerja di sini.”
“... iya?” jawab Bibi ragu-ragu.
“Mama pernah minta Bibi buat bersihin kamar ini enggak?” Aku menunjuk ke kamar penuh misteri itu.
“Enggak pernah. Kenapa emang, Neng?”
“Enggak apa-apa. Bibi pernah masuk ke kamar ini, tapi?”
“Oh, jelas enggak. Soalnya Ibu enggak bolehin saya buat masuk ke ruang perhiasan.”
Hah? Ruang perhiasan?