“Loh, bukannya lo hari Minggu latihan basket, Va?” tanyaku sesaat setelah Linda dan Irva keluar dari mobil taxi online yang berhenti di depan rumahku.
“Iya, ini bocah gue bawa kesini juga biar dia minta maaf ke lo, Wen. Enggak ada akhlak emang,” sambar Linda.
Kemudian Irva mendatangiku, sambil tersipu dia berkata: “Maafin gue ya, Wenny. Maaf kalo udah bikin lo tersinggung.”
Irva mencoba meraih tanganku, tapi aku menghindari raihannya. Seketika, ada ketegangan yang tercipta, mungkin karena Linda dan Irva mengira aku masih marah gara-gara tautan yang dikirim Irva di grup.
Namun sebaliknya, aku berkata: “Lo enggak perlu minta maaf, Va. Justru gue yang harusnya terima kasih sama lo. Karena apa yang lo share di grup tadi siang, bisa jadi menjawab beberapa pertanyaan yang selama ini ada di hidup gue.”
Dua gadis itu saling pandang. Lalu, Linda mengkonfirmasi: “Jadi, lo enggak marah?”
Aku menggeleng. “Udah, ayo buruan ikut gue.”
“Bentar,” kata Linda, “sekarang kita mau ke rumah Pak RT? Lo belum jelasin ke kita kenapa ke rumah Pak RT ini urgent banget.”
Aku menghela napas. Secara ringkas aku menceritakan apa yang kualami malam tadi, termasuk tentang Mama yang masuk ke kamar berpintu hitam. Ada keheningan beberapa detik setelah ceritaku selesai.
Irva memecah keheningan itu: “Jadi nyokap lo yang naroh lilin-lilin itu?”
“Iya. Gue yakin gue enggak salah lihat.”
“Dan sekarang lo mau ketemu Pak RT buat nanyain soal pemilik kalung berlian itu?” tanya Linda.
Sambil mengeluarkan sebuah kalung dari tasku, aku berkata: “Iya, gue yakin orang yang punya kalung ini, Vivian—” aku memperlihatkan nama yang terukir di bagian belakang kalung itu—“warga sekitar sini juga. Karena kalau gue baca-baca, babi ngepet cuma ngambil barang-barang orang yang ada di sekitar dia.”
“Oke. Terus kalau lo udah nemu si Vivian ini, lo mau ngapain?” tanya Irva.
“Gue mau tanya gimana ceritanya kalung dia ada di lemari di kamar gue. Kalau seandainya dia bilang hilang gitu aja, berarti bukti gue nambah kalau benar bokap dan nyokap gue... pelaku babi ngepet.”
Kedua temanku memandangku lekat-lekat. Kemudian Linda bertanya: “Emang Pak RT nya dari dulu enggak ganti?”
“Masih sama dari dulu. Walaupun gue anak rumahan, tau gue kalo Pak RT mah. Rumahnya di blok sebelah, orangnya pendek, tiap hari libur mandiin burung sarungan doang. Tapi gue enggak berani kesana sendirian, jadi, temenin yak,” kataku sambil tersenyum.
Kami bertiga mulai berjalan. Melamun, aku mengingat-ingat nama-nama tetangga—tapi tetap saja aku tidak ingat ada seseorang yang bernama Vivian.
Pertanyaan Linda membuyarkan lamunanku. “Va, lo tadi bilang lilin-lilin? Jadi di dalam kamar itu lilinnya banyak?”
Aku terkejut mendengar pertanyaan itu. “Hah? Tapi yang gue liat, Mama cuma bawa satu lilin Di mimpi gue juga lilinnya cuma ada satu.”
Untuk beberapa saat, Irva tidak menjawab. Kepalanya menunduk, wajahnya tersembunyi di balik hijabnya yang dibalutkan secara modern. Kemudian ia berkata lirih: “Iya, lilinnya banyak. Banyak banget.”
Aku dan Linda mengernyitkan dahi. Linda kembali bertanya: “Terus itu artinya apa?”
Irva menjawab: “Itu yang gue enggak tahu. Kalau cuma satu gue bisa mengerti. Dan itu yang buat gue worry, Wen.”
***
Kicauan berbagai jenis burung menyambut kehadiran kami di rumah Pak RT. Dengan hanya tiga kali ketukan pintu, orang yang kami cari keluar menyambut kami dan dengan sopan mempersilakan duduk.
“Coba saya tebak,” kata Pak RT dengan nada bergurau, “pasti mau bikin surat pengantar KTP hilang ya?”
“Eh, bukan, Pak RT,” jawab Linda. Ia yang berinisiatif menjawab karena ia sudah hafal dengan sifatku yang pemalu.
“Hmm, ngurus surat pengantar nikah?”
Kami bertiga tertawa. Linda menyerukan kalimat istigfar—yang kontras dengan kalung rosario yang dikenakannya. Sedangkan Irva menimpali: “Emang keliatan tua banget ya kita, Pak? Masih SMA ini kitaa.”
“Jadi apa dong? Oh, mau beli burung saya?”
“Makasih banyak, Pak. Kita ngurus diri sendiri aja masih enggak becus, apalagi ngurus burung.” Mesin receh Linda mulai panas.