Like a Boar to a Flame (Bahasa Indonesia Version)

Endri Irfanie
Chapter #6

Teori

“Kenapa enggak ke rumah lo aja sih, Wen?” tanya Linda. “Di rumah lo kan enak makan-minum enggak bayar.”

“Lagi males gue di rumah,” jawabku pendek.

Linda tidak menanggapi lagi jawabanku, mungkin ia sedikit mengerti keenggananku untuk berada di tempat yang menyimpan banyak misteri itu. Selepas kunjungan ke rumah Pak RT, kami bertiga langsung menuju outlet makanan cepat saji langganan kami.

“Yaudah, gue pesen duluan,” ujar Irva sambil beranjak dari kursinya.

Linda memperhatikan telepon genggamku yang kutaruh di meja tepat di hadapanku. “Udah lo WA?”

“Udah, belum dibales tapi,” jawabku.

Secara ajaib, nomor telepon Vivian yang ditemukan dengan susah payah itu masih aktif, dan terkoneksi dengan Whatsapp.

“Wen,” kata Linda, “lo yakin lo mau cari tahu tentang ini semua?”

“Yakin lah? Kenapa enggak yakin?”

“Ya, karena tanpa lo nyari tahu pun... lo enggak akan kekurangan sesuatu apa pun juga,” Linda nampak kesulitan menyampaikan apa yang ingin ia katakan.

Aku terdiam sejenak. “Gue bukan orang suci, Lin. Tujuan gue nyari tahu ini bukan karena gue mau membongkar skandal keluarga gue sendiri. Tapi, feeling gue, ini semua ada hubungannya sama hilangnya bokap gue.”

“Emang bokap lo hilang gimana sih?”

“Udah kayak remote TV ya, ilang?” candaku sambil tersenyum. “Yang gue ingat, gue pas kelas 3 SD. Waktu itu, gue juga enggak tau kerjanya Papa apa. Yang gue tahu, dia kayak kerja shift malam, jadi tiap malam dia enggak ada di rumah. Tapi, tiap pagi gue pasti lihat dia di meja makan lagi sarapan. Satu hari, gue enggak lihat dia pagi-pagi di meja makan. Dan sejak hari itu, dia enggak pernah kelihatan lagi.”

“Nyokap lo bilang apa?”

“Dia bilang Papa pergi. Udah gitu doang.”

“Sampai sekarang lo enggak dapat kabar apa pun?”

“Sama sekali enggak ada. Saudara-saudaranya di kampung juga enggak tahu dia kemana.”

“Aneh banget,” kata Linda sambil mengernyitkan dahi.

Di saat Irva kembali dan meletakkan nampan yang berisi makanan dan minuman favoritnya (cheeseburger dan iced coffee dengan topping jelly), telepon genggamku bergetar.

“Eh, dibales!”

Iya betul, ini siapa ya? Itulah balasan dari Bu Vivian. Sebelumnya, aku mengirimkan pesan: Selamat siang, ini betul nomornya Bu Vivian?

Secara bertahap aku menjelaskan siapa aku, dari mana aku dapat nomor teleponnya, dan apa tujuanku mengontaknya. Beberapa detik setelah aku mengirimkan foto dari kalung berlian tersebut, ia membalas:

Loh, nemu dimana? Iya betul itu kalung saya.

Linda, Irva, dan aku pun saling pandang. Sebagai balasan, aku mengetik: Ketemu di rumah saya. Hilangnya sekitar 9-10 tahun yang lalu bukan ya?

Waduh, udah lupa saya, udah lama banget. Btw, kamu simpan di rumah dulu ya, nanti kalau saya ke Jakarta, saya ambil ke rumah. Makasih loh ya, udah nemuin dan sampe repot-repot cari kontak saya.

Aku mencoba menggali informasi lebih dalam: Oke Bu, sama-sama. Kalung ini bisa ada di rumah saya, apa karena dulu Bu Vivian pernah main ke rumah, lalu kalungnya kececer mungkin ya?

Setelah jeda beberapa menit, balasannya berbunyi: Wah, saya sih dulu sibuk kerja, main-main ke rumah tetangga sih enggak pernah ya. Saya juga bingung kenapa ada di rumah kamu.

“Bener berarti—” kataku, melompat ke kesimpulan—”kalung ini hasil dari babi ngepet. Mama yang jaga lilin, dan Papa... yang jadi babinya.”

Keheningan menghinggapi untuk beberapa saat. Nampaknya, tidak ada lagi dari kami yang berkeinginan untuk memesan sesuatu—bahkan burger Irva pun dibiarkan kehilangan kehangatannya.

Linda memecah keheningan itu: “Jadi, habis ini lo mau ngapain, Wen?”

Gue menghadap Irva. “Va, selain soal lilin-lilin di dalam kamar itu, ada hal lain yang lo tau?”

Lihat selengkapnya