Like a Boar to a Flame (Bahasa Indonesia Version)

Endri Irfanie
Chapter #7

Cahaya

Sejam kemudian, tak kusangga, aku sedang berada di meja makan rumah bersama Mama. Linda dan Irva pulang ke rumah masing-masing setelah diskusi yang melelahkan tadi sore.

Mama, yang baru saja pulang dari kegiatan kumpul-kumpul bersama teman-temannya, dengan bersemangat menceritakan tentang apa yang jadi topik utama acara arisannya hari itu (salah satunya adalah mengenai salah satu temannya yang baru saja bercerai untuk keempat kalinya). Grup arisan Mama tak terhitung. Dan itulah sumber kesibukannya di tiap akhir pekan.

Di hari Sabtu dan Minggu, ia jarang berada di rumah—ia akan berada di beberapa high-end mall Jakarta, mengenakan tas LV dan sepatu Gucci dan barang-barang branded lainnya. Kadang-kadang, ia mengajakku untuk ikut dengannya, tapi aku tidak pernah mau.

Melihat Mama dengan ceria bercerita seperti itu membuatku meragukan teori-teori yang kuciptakan bersama teman-teman tadi—ragu bahwa ia sanggup melakukan hal-hal semacam itu.

Tiba-tiba, aku merasakan dorongan untuk mengeluarkan beberapa unek-unek yang ada di benakku. Kupikir, tidak apa-apa untuk melakukan itu, melihat Mama sedang memiliki mood yang bagus.

“Ma, Papa tuh sekarang dimana ya?”

Wajah Mama mendadak muram. “Kenapa nanyain dia sih?”

“Pengen tahu aja,” jawabku sambil memperhatikan ekspresi wajah lawan bicaraku.

“Mama enggak tahu. Kalau Mama tahu pasti udah kasih tahu Wenny dari dulu. Mungkin, Papa udah pindah ke luar negeri.”

Terlihat jelas kalau Mama membenci topik ini.

Rentetan pertanyaanku baru saja dimulai. Aku melontarkan pertanyaan lain: “Papa dulu kerjanya apa sih? Kok dia bisa sampai punya rumah segede ini?”

“Dia itu tangan kanannya direktur sebuah perusahaan. Ya jadinya gajinya lumayan. Terus, dia pinter muter duit, makanya—”

Lihat selengkapnya