Secara naluriah, aku buru-buru bersembunyi di balik pintu kamar mandi dan sengaja menyisakan celah agar aku bisa mengintip. Dengan hati-hati aku menengok keluar.
Persis seperti malam sebelumnya, seseorang itu adalah Mama. Dan persis seperti malam sebelumnya, ia membawa lilin berwadahkan baskom kecil di tangannya. Tanpa mengeluarkan suara, ia membuka kunci pintu tersebut dengan sebuah kunci yang ada di saku jaketnya. Menyaksikan itu, aku hampir saja gagal untuk menahan diri agar tidak menangis. Beberapa saat, aku merasa mual. Segala pikiran negatifku kembali memenuhi kepalaku.
Sesaat setelah ia masuk dan sebelum ia menutup pintu, aku segera keluar dari tempat persembunyianku dan menyerbu masuk ke kamar itu. Aku mendengar suara baskom berisi air yang terjatuh serta jeritan Mama yang bagaikan baru saja melihat hantu.
“Wenny!” pekiknya. “Kamu ngapain di sini?!”
Ketika mata kami bertemu, selain keterkejutan, aku dapat merasakan... ketakutan. Sesaat kemudian, pandanganku buru-buru kualihkan ke sekeliling ruangan misteri itu. Aku terpana dengan apa yang kulihat: ratusan, bahkan mungkin ribuan, lilin berjejer memenuhi setiap jengkal kamar tersebut. Seperti halnya yang dibawa Mama tadi, lilin-lilin tersebut ditaruh di wadah-wadah kecil berisi air—dari ember kecil, baskom porselen, hingga Tupperware. Tidak hanya di lantai dan di meja, benda-benda tersebut juga diletakkan di lemari-lemari kayu yang ada di tiap dinding dan tingginya mencapai langit-langit, sehingga mampu menampung sebanyak-banyaknya.
Lilin-lilin inilah yang menghasilkan cahaya kuning yang kulihat dari bawah pintu tadi, pikirku.
Mama mencengkeram lenganku dan mulai menyeretku keluar. “Keluar kamu! Cepat balik ke kamar!”
Aku menggeliat dan berhasil terlepas dari cengkeramannya. Aku lalu berkata dengan suara yang bergetar: “Ma, aku sudah tahu semuanya!”
Mata Mama terbelalak, lalu ia membalas: “Enggak, kamu enggak tahu apa-apa!”
“Aku tahu, Ma! Soal apa yang selama ini Mama lakukan, apa yang Mama perbuat ke Papa, dan soal laki-laki itu!”