Like a Boar to a Flame (Bahasa Indonesia Version)

Endri Irfanie
Chapter #9

Konsekuensi

“Pak! Tolong, Pak! Anak saya!” pekik Mama.

Terlambat, pikirku. Di depan kamar, sudah bergerombol beberapa warga, termasuk satpam jaga malam, bahkan Pak RT.

Setengah sadar, aku dibopong keluar kamar menuju ruang tengah. Mama juga demikian. Dengan pintarnya, Mama berkelit menceritakan bahwa yang sudah terjadi adalah sebuah kecelakaan yang mengakibatkan ia terkilir dan aku pingsan. Dengan sekuat tenaga aku ingin menampik kebohongan itu, tapi suaraku entah mengapa tidak bisa keluar.

Sekilas, aku menyadari ada setidaknya lima orang yang merespon permintaan tolong Bibi. Aku tidak bisa menerka apakah mereka menaruh curiga terhadap apa yang ada di kamar dimana mereka menemukan aku dan Mama tadi (ratusan lilin padam berserakan dan beberapa puluh masih menyala).

Bersandar di sofa, aku mencoba menenangkan diri dan mengumpulkan tenaga. Ketika Bibi menyodoriku teh panas, aku segera meminumnya. Aku sedikit merasa lebih baik.

Bu Monica yang rumahnya persis di samping rumah kami adalah salah satu warga yang datang membantu. Dengan cekatan, ia mengompres kaki Mama. Mama meminta maaf sudah merepotkannya.

“Enggak masalah, Mbak Dian. Saya juga belum tidur, masih jaga bocah-bocah yang belum pada tidur. Aduh, ini kakinya bengkak banget. Kayaknya perlu diperiksa ke dokter, Pak RT,” kata Bu Monica.

“Wah, iya nih, Bu Dian. Takutnya ada yang retak. Sebentar saya cari nomor telepon rumah sakit terdekat,” kata Pak RT sembari mengeluarkan telepon genggamnya.

Lalu Pak RT berpaling ke arahku dan berkata: “Duh, Neng, baru sore tadi mampir ke rumah saya, masih sehat ketawa-ketawa. Eh, sekarang malah semaput.”

Mama tercengang. “Ke rumah Pak RT? Ngapain?”

“Loh, bukannya Bu Dian yang nyuruh anaknya ke rumah saya buat nyari kontak Bu Vivian?”

“Bu Vivian? Vivian siapa?” Mata Mama yang tidak kalah bengkak dari kakinya akibat menangis itu menatapku kebingungan.

“Itu, yang kehilangan kalung. Ah, udah lah. Enggak penting itu. Yang penting sekarang, soal kaki Bu Dian sama kondisi anaknya. Saya telepon rumah sakit dulu ya, biar dikirimin ambulan.”

“Enggg...” Aku mulai bisa berbicara.

Lihat selengkapnya