Dua minggu berlalu sejak kunjungan Linda dan Irva ke rumah Wenny. Sahabat mereka itu pun tidak kunjung muncul. Ketika mereka tanyakan hal itu ke pihak sekolah, mereka terkejut ketika mengetahui bahwa pihak sekolah juga tidak bisa mengkontak Wenny maupun orangtuanya. Guru mereka bilang, apabila minggu depan masih belum ada informasi apa pun terkait Wenny, pihak sekolah akan melaporkan hal itu ke kepolisian.
“Gimana dong, Va? Udah hampir tiga minggu ini,” kata Linda murung.
“Lo denger kan tadi, Mamanya Wenny bawa Wenny pulang kampung, berminggu-minggu tanpa kasih info apa pun ke sekolah. Sampai sekolah mau laporin ke polisi, takut terjadi penculikan. Ini udah pasti ada yang enggak beres, Lin.”
Linda menutup wajahnya dengan tangannya. “Ini semua gara-gara gue.”
“Heh, jangan ngomong begitu! Ini bukan salah siapa-siapa. Kita enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” Irva menegaskan.
“Coba aja gue enggak ngomong aneh-aneh hari itu,” sesal Linda.
“Daripada lo bisanya menyesal doang, mending kita cari si Wenny,” Irva memberi ide.
“Hah? Caranya?”
“Dengan cara yang sama kita nemuin Bu Vivian waktu itu,” kata Irva sambil tersenyum simpul.
***
Persis seperti beberapa minggu lalu saat mereka terakhir berkunjung ke rumah itu, kehadiran mereka disambut oleh kicauan berbagai burung. Hari itu, seperti sebelumnya, Pak RT ada di rumah.
“Loh, ketemu lagi kita. Mau cari siapa lagi nih kali ini, ayo saya bantu,” ucap Pak RT setelah mempersilakan Linda dan Irva duduk.
“Sekarang yang mau kita cari si Wenny, Pak RT. Yang kita tahu, dia pulang kampung. Tapi sampai sekarang enggak bisa dikontak.” Linda bersikap to the point. Sepintas, rasa aneh menghinggapinya; beberapa minggu yang lalu mereka duduk bertiga di sofa itu, sekarang tinggal ia dan Irva.
“Oh, Wenny anaknya Bu Dian,” Pak RT tidak berusaha menyembunyikan ekspresinya yang berubah drastis.