“Udah deket nih,” ujar Kak Deo, membangunkan Linda dan Irva yang terlelap.
Mobil mereka sedang merayap di jalan raya yang penuh sesak dengan truk-truk pengangkut kayu. Tatapan Linda menyisir ke arah samping jalan. Tertangkap oleh pandangannya sebuah plang yang bertuliskan SMP Negeri 1 Cibaliung. Ia sedikit lega karena berhasil mencapai titik itu tanpa tersasar.
Desa Sudimanik, Kecamatan Cibaliung, Pandeglang, Banten. Itu lah lokasi yang mereka tuju. Tidak banyak yang dapat Linda gali dari internet mengenai desa itu. Selain tentang atraksi rafting sederhana di sungainya, informasi lain terkait desa itu adalah seputar bansos yang acapkali telat datang tapi tiba-tiba menjadi sering tiap pilkada menjelang.
Dengan penuh harap ia meraih telepon genggamnya. Belum ada balasan apa pun dari Wenny. Kita bentar lagi sampai, tulis Linda, semakin tidak peduli pesan itu dibalas atau tidak.
Linda merasakan kalau perutnya sudah lapar kembali. Padahal baru beberapa jam yang lalu mereka mampir untuk makan siang di Rest Area. Pantatnya sudah mulai mati rasa, lehernya sakit karena posisi tidurnya tidak ideal. Meskipun ia sadar betul waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan ini, Linda sedikit tidak menyangka bahwa perjalanan ini akan semelelahkan dan semembosankan itu. Jika saja menonton tv series favoritnya di mobil tidak membuat kepalanya pening, ia pasti sudah melakukannya dari tadi. Sepintas, ia bersyukur memiliki kakak laki-laki yang tangguh, yang mampu melindas ratusan kilometer aspal tanpa kelihatan pegal-pegal.
“Lima belas menit lagi,” kata Irva, memicingkan matanya ke arah telepon genggam Kak Deo yang dijepit di dasbor dan menjelma menjadi penunjuk arah yang handal.
Tepat lima belas menit kemudian, mereka sampai di depan sebuah rumah. Meskipun terlihat sederhana seperti rumah-rumah lainnya di wilayah itu, ia memiliki halaman luas yang dipenuhi oleh tetumbuhan yang rindang. Satu hal yang meyakinkan mereka bahwa mereka sudah sampai di tujuan—yakni lokasi dimana Wenny berada—adalah adanya mobil yang terparkir di halaman rumah itu: mobil yang digunakan untuk mengantar mereka pulang ke rumah beberapa minggu yang lalu.
“Enggak salah lagi, pasti ini rumahnya, Va,” kata Linda bersemangat, segala kelelahannya mendadak sirna.
Kak Deo yang dengan hati-hati memarkirkan mobil di bahu jalan berkata: “Jadi gimana nih, gue tunggu di sini, kalian turun?”
“Kita jangan turun.” Kata-kata itu meluncur dari mulut Irva dengan tegas secara tiba-tiba. Pandangannya tajam, tertuju ke rumah yang atapnya mulai lapuk itu.
“Kenapa?” Linda merasakan ada sesuatu yang menangkap perhatian Irva. Ketika ia berbalik badan dan melihat ekspresi Irva, Linda menyadari ekspresi yang sama pernah dilihatnya sebelumnya: ketika Irva mengetahui tentang lilin-lilin itu di rumah Wenny.
Irva ingin mengatakan bahwa ia merasakan hal-hal yang buruk terpancar dari rumah itu. Namun, yang ia katakan adalah: “Mending kita kontak Wenny dulu, dan kita tunggu di mobil.”
“Lah kenapa? Kan tinggal ketok pintunya,” Kak Deo menimpali.
Tanpa mengindahkan ucapan kakaknya, Linda melakukan apa yang dikatakan Linda. Pertama ia mencoba menelepon, tak diangkat. Ketika ia mengirim pesan Whatsapp, itu pun tak berbalas.
Linda lalu bertanya: “Ada apa di rumah itu, Va?”
Yang ditanya tidak menjawab. Pandangannya menyisir rumah yang semua pintu dan jendelanya tertutup itu. Ia lalu berkata: “Kita tunggu lima menit.”