Like A Flowing Wind

Sugiarty Nasir
Chapter #2

Dark Crimson untuk Gadis Kastuba

"Aduh, 50 bath saja, saya ambil 10." Lusi masih tidak mau kalah dengan pedagang yang menjual tas kecil. Dengan bahasa Inggris yang fasih Lusi menawar dengan semangat yang membara, sementara pedagang, dengan bahasa Inggris ala kadarnya dengan aksen Thailand juga tidak mau kalah. Lusi mengetik di kalkulator angka 50 yang di sediakan, lalu diberikan pada pedagang, pedagangnya menggeleng dan mengetik angka 60. Aku yang memang tidak pandai menawar dan tidak suka nawar cuma bisa menghela napas berulang kali. Sudah beberapa menit berlalu, masih belum ada yang mau mengalah.

"Dah, Lus, 60 bath enggak mahal-mahal banget." Aku sudah lelah. Waktu hanya habis karena tawar menawar yang tidak memiliki titik terang.

"50 bath biasanya, diam Lo yang enggak tahu soal tawar menawar." tegurnya padaku.

"Terserah!" Aku meninggalkan dia dengan masalahnya itu. Lebih baik aku cari minum. Lusi yang berdebat aku yang haus.

Hah, kenapa juga aku bisa berakhir liburan dengan sepupuku yang satu ini. Padahal Aaron kemarin mau ikut denganku. Jika, dipikir-pikir, liburan hanya dengan Aaron justru makin tak seru. Apa kabar anak itu, yah.

Ku ambil benda persegi canggih dari tas selempang ku yang sedari tadi belum kusentuh karena asyik mengitari Night Bazaar Chiang Mai. Mau menanyakan kabar manusia Laron.

-Chat room-

Jill to Aaron

Jill : Tuan muda, bagaimana kabarmu?

Aaron : Maaf ini siapa, yah?

Mulai nih dia nge-drama. Sok-sok-an ngambek. Sengaja hanya ku baca, cowok memang harus di perlakukan seperti ini kalau sudah pura-pura ngambek tidak jelas. Dasar Laron!

"How much?" Aku melihat ke sumber suara yang tidak asing di telingaku. Ibu-ibu sedang berdiri sambil berbicara pada penjual baju.

"250 bath khab²," jawab si penjual dengan ramah. Ibu itu seperti berpikir, mungkin dia sedang menimbang akan membeli atau tidak baju kaos dengan harga segitu. "In dollar, this t-shirt 7 dollars khab." Sambung si penjual, yang mungkin merasa si Ibu tak tahu berapa 250 bath. Dia mengagguk sambil tersenyum ramah pada penjual. Lalu dia meminta dibungkuskan satu kaos berwarna hitam. Kaos cowok.

Saat sudah si Ibu-ibu berbalik.

Bukannya itu Ibu-ibu yang aku tolong kemarin lusa. Tanpa ragu aku menghampiri ibu itu yang di sambut sangat ramah dengannya.

"Ibu liburan juga ke sini. Kirain tinggal di sini, hehe!"

Aku pikir Ibu ini orang sini. Ternyata kita sebangsa. Aku dan Ibu duduk di sebuah kursi tak jauh dari kedai baju tempat Ibu tadi berbelanja.

"Tidak, Ibu liburan sama anak. Ibu mau ikut karena mau lihat-lihat toko bunga di Chiang Mai buat dijadikan referensi toko bunga Ibu."

"Wah Ibu punya toko bunga, Ibu tinggal di mana di Indonesia?"

"Ibu tinggal di B-"

"Bu, Kakak cariin juga, di sini ternyata!" Anak Ibu Syafa datang memotong pembicaraan seruku dengan Bu Syafa.

Aku sempat terpanah sebentar dengan suara dan mata anak Bu Syafa itu. Benar kata Lusi, cowok ini memiliki aura tampan, padahal dia sedang pakai masker. Alisnya yang tebal menyatu ketika dia sedang mengerutkan keningnya menatapku.

Lihat selengkapnya