Aku sudah berada di depan universitas. Percaya atau tidak? Walau universitas ini milik Kakekku dan Momma menjadi dosen di sini, ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke sini. Aku tidak tahu harus melewati jalan mana untuk sampai ke lapangan bola. Aaron yang sedari tadi ku kirimi pesan singkat tak kunjung memberi balasan.
"Hari ini bakal lihat Kak Abrisam keringatan lagi!" Teriak antusias beberapa mahasiswi yang sedang lewat di dekatku. Sepertinya mereka akan menonton bola juga. Baiklah, ikuti mereka saja. Dengan santai aku mengikuti mereka, aku sudah seperti mahasiswi karena mengenakan seragam khas Kancana. Atasan kemeja putih dan rok hitam, pin sekolah aku lepas. Aku sedang membolos, jika ada dosen yang melihat pin SHSK⁵ besok aku masuk ruang BK dan Momma bakal mengamuk.
"Hai, kamu mau ke lapangan?" Seseorang berdiri di depanku sambil merentangkan tangannya. Tangan kanannya memegang buket bunga, sebelah kiri memegang kantungan cukup besar. Cewek yang tingginya di bawahku sekitar beberpa centi itu tersenyum manis. Kulit putihnya memerah ketika sinar mentari membelainya. Aku masih memandangnya bingung.
"Hehe, aku Hila," Cewek itu mengulurkan tangannya untuk bersalaman, aku menyambut uluran itu dan ikut menyebutkan namaku, tanpa nama belakang. "Aku boleh minta tolong, enggak?" Lanjutnya. Aku mengangguk.
Cewek bernama Hila itu memberikan buket bunga baby breath dan sekantung cemilan. Mataku menyipit, sebelah alisku terangkat. Dia tertawa. Cewek ini benar-benar ramah sekali.
"Tolong, berikan ini pada Anan. Pasti kamu tau, dia sangat terkenal. Dan terima kasih sebelumnya, Jill," Bunga dan cemilan itu kini berpindah di tanganku. "Oia, kamu dari fakultas mana?" tanyanya.
"Aku buk-"
"Sayang, buruan!" Suara seorang cowok yang berdiri di dekat mobil mewah memotong ucapan ku. Hila berpamitan padaku lalu menghampiri cowok yang mengenakan jaket, kacamata dan masker itu. Hila, cewek cantik yang seperti baby breath di tanganku ini.
Bagus Jill, sekarang masalah bertambah. Tidak tahu jalan menuju lapangan dan harus mengemban amanah, yang sepertinya penting. Anan? Memang tidak asing sih. Nama itu seperti sangat sering terlintas di telingaku.
"Aduh!" Aku mengaduh ketika bokongku yang tak seberapa ini menyentuh lantai. "Kamu enggak apa-apa?" tanya seorang cowok, dia membantuku berdiri. Tampan! Itu kesan pertama saat aku melihat cowok yang sedang membantuku berdiri. Terlihat badboy karena anting menghias dua di telinganya, tapi memiliki suara lembut yang bisa membuat cewek-cewek merasa aman di dekat dia.
"Maaf." Cowok yang sepertinya tadi aku tabrak itu memberikan buket dan cemilan yang ikut terjatuh, sambil membungkuk meminta maaf. Aroma segar dan manis menyapa hidungku, sweet pea.
Cowok beraroma sweet pea itu terlihat tak bersahabat. Dia hanya terdiam cuek setelah meminta maaf dengan satu kata. Lagi, boleh aku akui, dia juga tampan. Mereka bertiga tampan!!! Untuk cowok beraroma sweet pea ini, memiliki nilai plus karena wangi tubuhnya saat dia bergerak. Gawat! Aku sudah hilang kewarasan!
Lalu, mereka buru-buru meninggalkanku. Tiga cowok itu mengenakan celana dan sepatu bola. Pasti mereka para pemain inti KU⁶. Ku putuskan untuk mengekor mereka saja. Siapa tahu bisa sampai lapangan dengan cepat.
Saat aku di pintu G, suara gemuruh penonton membuatku bernapas legah. Akhirnya aku sampai!
Aku segera masuk, mencari tempat duduk yang paling pas untuk bisa menyaksikan si Laron. Aku duduk di tribun kursi kedua. Cukup pas untuk melihat Aaron.
Awalnya biasa saja. Aku pikir, aku berada di area yang tepat. Sampai pesan masuk membuatku kaget. Pesan dari teman-teman kelasku yang menanyakan keberadaan ku.
Aku melihat kiri kanan, atas bawah. Ternyata aku berada di tribun lawan. Rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku melihat tribun seberang, yang sepi penghuni. Aku harusnya duduk di sana.