"Stop, Pak!" ucapku sedikit berteriak karena taksi online yang membawaku dari KU ke rumah sudah kelewatan jauh. Melewati sekitar lima rumah, tepat di depan rumah Aaron, mobil berhenti. Aku turun setelah membayar. Berjalan sedikit juga tidak apa-apa. Hitung-hitung membakar lemak.
Suara klakson mengagetkan aku, mobil hitam yang biasa mengantar Aaron di pagi hari untuk ke sekolah, berhenti tepat di depanku.
"Tidak sama Aaron, Jill?" tanya Om Alex padaku. Dia turun dari mobil ketika aku tak kunjung menjawabnya. Om Alex yang sudah berumur kepala lima itu masih sangat tampan. Kalian pernah menonton matrix? Jika pernah, maka saat melihat Om Alex, kalian akan diingatkan kepada pemeran Neo, Keanu Reeves. Tetapi, jika aku perhatikan dengan baik, Om Alex seperti, Sam tidak seperti Aaron. Tunggu kenapa malah kepikiran Sam? Tapi memang mirip. Matanya, hidungnya, lalu bibirnya mirip.
"Jill." Om Alex memanggilku yang tak sadar sedang melamun. Malu!
"Eh, maaf Om. Pas Jill tinggal Aaron masih tanding di univ—" Sadar akan kebodohanku, aku segera menutup mulut dengan kedua telapak tanganku. Alis Om Alex terangkat. Sebelum Om Alex bertanya kembali, aku segera berpamitan. Berlari kecil menuju rumah.
"Jill bodoh!" Gerutu ku. Harusnya aku tidak boleh mengatakan hal itu di depan Om Alex. Pasti malam ini Aaron akan disidang dengan berbagai kata kasar. Om Alexander Blenda memang sempurna secara fisik tapi tidak sebagai seorang Daddy bagi Aaron. Maafkan Jill, Aaron!
"Dari mana?" Aku terkejut untuk kedua kalinya. Momma yang baru saja keluar dari kamar langsung menegurku yang asyik memikirkan nasib Aaron, sampai lupa kalau nasibku juga tidak aman.
"Kamu dengar tidak, sih! Momma suruh kamu belajar, bukan nonton pertandingan bola kayak begitu!" Aku hanya bisa menunduk ketika Momma sudah mulai marah. Dia terus memberikan peringatan kalau masuk ke fakultas kedokteran tidak mudah. Jadi, aku tidak boleh bermain-main, yang harus aku lakukan adalah belajar, belajar dan belajar.
Bosan! Rasanya aku ingin protes. Kalau apa yang selama ini aku jalani bukan keinginanku. Aku ingin melakukan apa yang aku inginkan. Seperti orang lain yang belajar sesuai dengan minatnya, mengejar cita-cita sesuai dengan keinginannya. Tapi, aku terlalu mencintai Momma, aku tidak bisa menolaknya.
Sentuhan lembut di kepalaku membuat aku mengangkat kepala. Menatap pria yang sudah tersenyum manis kepadaku. "Ganti baju sana, bau kecut!" Poppa menutup hidung, pura-pura terganggu dengan bau kecutku yang dia karang. Aku mengangguk. Lalu berjalan meninggalkan Poppa dan Momma.
"Setelah itu, turun makan." ucap Momma. Walau dengan nada jutek tapi, itu membuat aku melupakan perkataan Momma beberapa detik yang lalu.
"Kamu kenapa, sih?" Belum sampai aku di depan kamar, suara Poppa yang sedikit berbisik tapi masih bisa aku dengar itu menghentikan langkahku. Aku mencoba mengintip di balik rak buku. Aku melihat Momma menepis tangan Poppa yang dia taruh di pundak Momma.
Poppa menegur Momma karena sudah memarahiku. Tetapi, Momma bilang kalau yang dia lakukan demi kebaikan ku. "Dia suka bunga dan ingin masuk fakultas floristy!" ucap Poppa.
Momma menatap Poppa tajam. Terlihat jelas Momma tersenyum meremehkan kepada Poppa. "Krai, kamu tidak perlu mengajarkan aku bagaimana mengurus anakku. Urus saja anakmu yang mulai berulah lagi. Ingat aku masih menunggu kamu menandatangani surat cerai kita!" Setelah mengatakan itu, Momma masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu.
Rasanya hatiku seperti ditusuk seribu belati, lalu disiram dengan se liter jeruk nipis.
Aku terduduk lemas di lantai. Sekuat apa pun aku memukul dadaku rasa sakitnya tak mau hilang. Harusnya, aku sudah tidak kaget, karena sudah mendapat peringatan dari Kak Decha. Kenapa air mataku tidak mau berhenti mengalir, ahhh!