"Gila yah Bangkok sama Jakarta enggak beda jauh macetnya!!!" Ini sudah keluhan ketiga yang aku dengar dari mulut sepupuku, Lussiana Kancana.
Sebenarnya macetnya Bangkok sudah tidak seperti dulu yang benar-benar macet kata Poppa. Bangkok sudah banyak berbenah. Saat ini rakyat Bangkok banyak yang menggunakan transformasi umum, lagian macet di Bangkok tidak ada kontes keseksian suara klakson yang bisa menulikan telinga.
Aku menikmati macet yang aku rasakan saat ke Bangkok, mungkin karena sudah terbiasa padahal kota tempat aku tinggal di Indonesia jarang ada macet. Kalau Lusi ini kali pertama dia ke Thailand, sedangkan aku sudah ke tiga kalinya. Pertama kali ke Thailand saat aku duduk di bangku enam SD. Nenekku, ibu Poppa meninggal dunia karena jantung. Keduanya menemani Poppa yang sebulan harus memotret, kebetulan aku sedang libur semester kenaikan kelas di SMP. Aku tinggal sebulan di Bangkok.
"Awas saja, Chiang Mai kayak Bangkok, yah!" kata Lusi terlihat lelah buat kembali ke Bangkok, cukup tiga hari. Belum saja dia melancong lama menikmati Bangkok. Dasar!
Sekarang kita sudah ada di dalam pesawat menuju Chiang Mai. Sebenarnya bisa naik transportasi darat, hanya saja itu memakan waktu lama, kira-kira 12 jam atau 14 jam-an. Aku dan Lusi suka mabuk kalau terlalu lama naik mobil. Jadi, bisa bayangkan naik bus 12 jam, yang ada tewas duluan sebelum sampai ke tujuan. Kalau naik pesawat cuma berapa jam, tidak sampai dua jam-an.
"Jill, Chiang Mai kan mayoritas penganut Buddha, kita makannya bagaimana?" tanya Lusi, wajahnya yang tadi bersemangat langsung terlihat panik.
Saat ini kami sudah ada di dalam taksi menuju resor. Awalnya saat mau merencanakan ke Chiang Mai juga aku khawatir soal ini. Cuma Poppa sudah memberikan aku seberkas cahaya terang. Dia memberi tahu 'kan di mana saja tempat-tempat aku bisa menemukan makanan halal. Kota ini itu tidak kayak Bangkok yang memiliki ratusan masjid, Chiang Mai hannya memiliki empat masjid. Tapi kata Poppa, jangan takut kelaparan kalau mau berpetualang itu, selama mau berusaha pasti ada jalan. Lagian kenapa repot sih, mi instan khas Indonesia 'kan ada!
"Apaan, jauh-jauh ke sini, mi instan lagi!" protes Lusi saat aku mengusulkan mi instan jika tak menemukan makanan yang bisa kita konsumsi.
Sopir yang membawa aku dan Lusi ke tempat menginap tersenyum. Ku ajaklah sopirnya mengobrol dengan bahasa Thailand hasil colong dari google translate. Bapaknya malah tertawa, memang sih jika kalian dengar aku berbicara Thailand dengan hasil translate tadi dipadukan dengan aksen Indonesia yang kental akan terdengar sangat lucu. Wajar sih Bapak terbahak-bahak, Lusi saja sudah menahan pipisnya. Saking lucunya kali, yah. Punya darah Thai bukan berarti aku bisa bahasa sini, aku tidak terlalu pintar untuk belajar bahasa dengan cepat.
"Non, enggak usah khawatir,"
"Lah si Bapak bisa bahasa Indonesia!" teriak Lusi, si Bapak tertawa lagi.
"Bapak asli Indo atau orang Thai yang bisa bahasa Indo?" tanyaku penasaran. Tampang-tampang si bapak tidak ada Indo-nya.
Bapak Jum, begitu beliau memperkenalkan diri. Dia sudah 30 tahun di Chiang Mai sebagai sopir taksi. Beliau asli orang Malang yang mendapat jodoh orang asli Chiang Mai. Sepanjang jalan dari bandara CNX sampai ke Na Nirand Romantic Boutique Resort di Charoenprathet road, pak Jum bercerita tentang dirinya dan Chiang Mai. Beliau memberikan nomor teleponnya. Jika membutuhkan jasanya, bisa menghubungi nomor yang tertera.
Awal yang baik untuk penjelajahan ke kota yang sangat-sangat indah dan unik ini.
"Wooww!" Itu yang terlontar dari mulut Lusi saat pertama kali memasuki tempat kita menginap. Resor ini tempat bulan madu Poppa dan Momma katanya. Awalnya aku akan menginap di dusit princess Chaing Mai, cuma Poppa melarang. Katanya rugi jauh-jauh ke Chiang Mai nginapnya di tempat biasa saja. Aku hanya bisa menggeleng saat itu.
Dusit princess itu hotel bintang empat, loh. Terus Momma datang menghampiriku, dia mengusulkan untuk menginap di resor sekarang ini. Tempatnya indah, kita bisa melihat sungai Ping yang katanya tempat romantis. Selain itu bangunannya menggunakan gaya Thailand Utara modern, staf-nya friendly, fasilitas bagus. Tapi rasanya ada benarnya mereka menyuruh kami istirahat di sini. Aku yang sangat lelah karena perjalanan yang lumayan, membaringkan tubuh sebentar saja di atas kasur sudah terbuai alam mimpi.
Aku terbangun karena suara ribut Lusi sangat luar biasa. Masih di atas kasur aku memperhatikan sepupuku itu sedang live Instagram. Dia memamerkan interior kamar, yang memang sangat bagus. Bukan bintang lima kalau tidak bagus. Harganya juga bagus, syukurnya Poppa yang membayar biaya menginap selama di sini, uang untuk belanja oleh-oleh bertambah.
"Kalian harus tau, kamar gua cantik banget!" Lusi berputar untuk memperlihatkan kamarnya.
"Awas kalau ada muka aku, yah!" tegurku, dia itu tipe-tipe bodoh amat sama penampilan orang. Kalau dia cantik yang lain tidak penting.
"Tenang, gua juga enggak mau ngotorin live Instagram dengan muka bantal Lo itu!" Aku hanya manggut-manggut. Pukul satu siang, sudah lewat waktu zuhur. Aku bangkit dari kasur nyaman ini dan pergi membersihkan diri.