Like A Flowing Wind

Sugiarty Nasir
Chapter #3

Memories : Wargivness

Penampilan Decha benar-benar berantakan malam itu. Kakak terlihat sangat hancur. Hanya menggunakan baju piyama berwarna marun bermotif bintang dan bulan, kakak menekan bel rumah seperti orang yang dikejar-kejar pemburu. Saat itu jam menunjukkan pukul dua malam. Poppa saja sampai sangat kesal kepada kak Decha, Setelah melihat keadaan kakak, Poppa justru melembut. Kakak yang sudah duduk tak bertenaga di depan pintu, Poppa mengangkatnya masuk ke ruang tamu.

Kakak tidak tinggal bersama kami setelah dia menikah setahun lalu. Dijodohkan. Pria yang baik kata Momma, datang dari keluarga terhormat dengan harta berlimpah. Momma bilang kakak pasti akan sangat bahagia karena suami Kak Decha sangat baik.

Belum lima bulan pernikahan mereka, Kakak sudah datang ke Momma marah-marah, dia protes kepada Momma yang menikahkannya dengan lelaki tak baik seperti itu. Kakak mengatakan kalau suaminya berani main tangan dengannya. Awalnya cuma adu mulut setiap hari. Tapi setelah main fisik, Kakak tidak terima.

"Ppa, Kakak mau cerai!" Kak Decha bersimpuh di kaki Momma dan Poppa. Dia terus memohon untuk cerai dari lelaki jahat itu. Tidak ada yang bisa dipertahankan dari pernikahan tidak sehat. Sejak awal saja sudah tidak baik. Kak Decha terus memohon.

Harusnya kak Decha tidak perlu meminta seperti itu pada mereka. Rumah tangganya adalah urusannya. Hanya saja Momma sangat keras soal masalah rumah tangga. Momma tidak membenarkan sebuah perceraian. Makanya Momma harus ikut andil dalam memilih pasangan hidup anaknya, yang sebenarnya tidak selalu baik untuk sang anak. Kak Decha paham jika dia cerai tanpa persetujuan Momma, Momma pasti akan sangat marah kepadanya. Momma akan membencinya. Sebenernya pemikiran Kakak cukup liar? Orang tua mana sih yang senang hati membenci anaknya, tidak ada. Atau mungkin ada?

Sekerasnya Momma menentang perceraian itu, akhirnya Momma mengizinkan Kakak. Aku juga turut senang dengan itu. Tidak bisa aku bayangkan Kakak hidup dengan orang yang ringan tangan. Pria kasar tidak baik untuk diajak menjalin hubungan, bakal mati muda.

"Suami kamu begitu pasti karena kamu juga, 'kan Dech?" Momma bersuara lagi setelah diam cukup lama.

Setengah tiga pagi, mataku yang akan tertutup terbuka kembali mendengar pertanyaan Momma. Kak Decha hanya diam. Poppa menggenggam tangan Momma agar tidak melanjutkan kata-katanya yang ingin keluar.

"Kamu pasti tidak berprilaku dengan baik dengannya!" lanjut Momma. Tangan Poppa dihempaskan begitu saja, dia kepalang kesal, dibujuk pun akan sia-sia. Momma mengizinkan Kak Decha untuk cerai, namun sebenarnya Momma masih tak rela.

"Perceraian kamu ini akan jadi aib, Dech!" Aku yang mendengar perkataan Momma itu merasa sakit. Bagaimana Kakak? Aku melihatnya meneteskan air mata, buliran itu jatuh mengenai telapak kakak yang berada di paha. Lalu semakin deras. Isaknya tak bisa dia redam. Aku paham sakitnya, walau aku tidak mengalaminya.

"Jill ke kamar," pamit ku pada semuanya, Poppa mengangguk. Sementara Momma masih menatap Kak Decha tajam. Menjauh dari sana adalah jalan terbaik. Anak SMP sepertiku belum bisa melihat adegan rumah tangga yang menegangkan. Selain itu, aku juga tidak bisa melihat Kak Decha yang menahan tangis seperti itu.

Kamarku di lantai dua memiliki balkon yang cukup luas, area favoritku di rumah. Ku buka pintu yang menghubungkan kamarku dengan balkon dan mulai menyapa semua bunga-bunga kesayanganku. Udara dingin seketika menyapa tulang-tulangku. "Dingin banget. Tapi langit malam begini jarang aku lihat," Aku duduk sambil memangku gitar yang sudah lama tidak ku petik.

Mee waan tua neung loy wai nam maa doo jep cham suang oorah gwaa tee koey

Man payayahm taam rak saam choey tae soot tai dan mah goey tuen nam tai

Jong jam wai waa rak krai yaa tam hai jai tong jep

Lae prod jong jam wai tammai tueng sia jai pror rao tam tua rao eng

Lihat selengkapnya