Sunggi, nama yang unik. Pertama kali aku bertemu dengannya, aku paham betul bahwa parasnya akan membuat masalah. Wajah tampannya itu sering kali membuat para wanita bertarung satu sama lain karena memperebutkannya. Padahal, sebenarnya dia tidak begitu peduli dengan itu. Tapi, masalah wajah bukan poin yang begitu penting bagiku, meski aku tidak bisa menampik bahwa parasnya kadang sukses mengalihkan perhatianku. Ada hal lain yang menarikku untuk terus menatapnya. Matanya dengan bola mata misterius. Kubilang misterius karena sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa bola mata itu selalu sukses menarik seluruh perhatianku.
“Dek,” panggil seseorang membuyarkan lamunanku.
Aku tersentak, “Iya, Kak?” tanyaku. Mampus, dari tadi seorang kakak kelas sedang menjelaskan tentang olimpiade Bahasa Jerman yang akan aku ikuti, dan sialnya aku lebih memilih untuk mengkhayal bersama Sunggi ketimbang mendengarkannya.
“Lo nggak dengerin gue, ya?” ketusnya yang membuat kakiku langsung bergetar. Gugup.
“M-maaf, Kak.”
“Gue heran kenapa Frau Yenti milih lo buat peserta olimpiade. Kenapa juga gue harus ngajarin orang bego kayak lo.”
Aku tersentak mendengar ucapannya. Orang bego? Hei, aku hanya kehilangan fokus sebentar, bukan berarti aku bego.
“Lo paham nggak sih kalau sekolah kita harus mempertahankan juara umum untuk olimpiade ini? Gue udah capek-capek dapetin itu tahun lalu. Dan sekarang lo malah kayak gini. Kalau lo kayak ini terus, lo nggak usah ikutan olimpiade. Sekolah kita udah jelas nggak bakal menang,” cerocosnya.
Aku menghela napas pelan. Menahan jengkel. Pertama, aku hanya tidak fokus karena dia mengajarkan dengan cara yang membosankan. Kedua, aku juga belajar di rumah dan kurasa itu lebih efektif. Terakhir, peserta lomba dari sekolahku bukan hanya aku, jadi harapan juara itu masih ada jika benar aku ini tidak dapat memberikan kontribusi yang baik.
“Kita latihan sampai di sini dulu. Lo pelajarin apa yang gue ajarin tadi. Besok gue tes,” katanya yang langsung mengemasi buku-bukunya dan pergi tanpa perlu repot-repot untuk pamit.
Aku menghempaskan napas kasar, melepaskan kejengkelanku. Kulihat ruangan yang besar dan sepi itu. Setiap pulang sekolah, aku harus berlatih sendirian di ruangan ini, kadang juga dengan kakak kelas menyebalkan itu, Gina namanya. Ruangan ini adalah labor bahasa yang jarang dipakai, biasanya hanya digunakan ketika ada lomba debat atau konferensi. Dan selama satu bulan ini dijadikan sebagai tempat latihanku. Peserta yang lain memilih untuk latihan di asrama sekolah dengan kakak kelas lainnya yang juga satu asrama, sedangkan aku adalah satu-satunya peserta yang tidak tinggal di asrama. Jadi, hanya aku yang berlatih di ruangan ini.
Jam yang melingkar di tanganku menunjukkan pukul enam sore, langit sudah mulai menggelap. Aku bergegas mengemasi modul dan buku tulisku. Untungnya sekolahku memperbolehkan siswanya menggunakan motor, jadi aku tidak perlu risau jika pulang setelat ini karena membawa motor pribadi.
“Runa,” panggil seseorang yang sudah aku hafal suaranya.
Aku yang baru saja keluar dari ruangan menoleh ke sumber suara, “Kak,” kataku sambil tersenyum.
Dia membalas dengan senyum yang tak kalah manis, “Baru kelar?” tanyanya.
Kami berjalan beriringan menuju parkiran. Dia dengan bola basket adalah pemandangan yang rutin kulihat setiap sore. Dia selalu menemaniku berjalan menuju area parkir yang memang cukup jauh dari labor bahasa. Di perjalanan yang mungkin sekitar sepuluh menit itu, kami mulai mengenal satu sama lain.