Like A Flowing Wind

B12
Chapter #2

#2 Kacamata Baru

Sial. Ini baru pukul tujuh pagi dan aku sudah dibuat geram karena adikku, Sani, yang menginjak kacamataku. Aku minus lima dan akan sangat tidak nyaman jika tidak menggunakan kacamata. Aku mendengus kesal, melihat gadis tujuh tahun dengan rambut panjang yang masih acak-acakan itu menatapku dengan mata berlinang. Tidak tega untuk memarahinya, aku memilih meredakan amarahku dengan berendam air hangat.

“Ijin sekolah aja, Kak. Hari ini bikin kacamata baru,” kata ayah ketika kami tengah sarapan.

Aku menggeleng, “Aku nggak bisa libur, Yah. Masih harus latihan untuk olimpiadenya. Lagian hari ini pembimbingku ngasih tes.”

“Tapi memangnya kamu nggak apa-apa kalau nggak pakai kacamata?” Bunda bertanya.

Aku menghela napas, “Nggak nyaman, Bun.”

“Kalau gitu ijin telat aja, Kak. Biar Ayah telpon wali kelasmu. Pagi ini pergi ke optik untuk bikin kacamata baru,” ujar ayah memberi solusi.

Karena dikejar waktu, aku memilih untuk setuju dengan bingkai kacamata pilihan bunda. Untungnya lensa kacamataku tidak retak, jadi masih bisa digunakan dan dapat menghemat waktu karena aku tidak perlu tes mata lagi. Namun, setelah memakainya, aku merasa tidak begitu nyaman. Terlalu ketat dan kaku. Ini juga efek dari telinga dan mataku yang tidak simetris. Aku jarang langsung merasa nyaman dengan kacamata baru. Dan sekarang aku harus membiasakan diri dengan kacamata bulat berbingkai emas yang terasa sangat ketat ini.

“Lo dari mana aja, sih? Kok jam segini baru datang?” sambar Chisa, teman sebangkuku ketika aku baru datang di jam istirahat.

“Beli kacamata baru. Tadi pagi Sani nginjak kacamata gue. Nggak mungkin kalau gue ke sekolah tanpa kacamata.”

Chisa mengangguk, “Tadi dicariin Kak Gina. Kalian latihan nanti di kelasnya dia aja. Soalnya labor bahasa mau ada KKG.”

Aku mengangguk, “Oke deh.”

“Gimana progres belajar buat olimpiadenya? Enak jadi anak emas?” ledeknya.

Aku mendengus, “Apaan? Nggak seru belajar sendirian. Apalagi dapat pembimbing Kak Gina. Gue nggak ngerti dia ngomong apaan.”

Mendengar keluhanku, Chisa terkekeh, “Orang pintar tuh kadang gitu, ya, Na. Pintar belum tentu bisa ngajarin orang lain.”

Setuju deh. Kak Gina memang tipe yang seperti itu. Pintar, tapi tidak bakat jadi guru. Aku mengeluhkan hal ini beberapa kali pada Frau Yenti, guru bahasa Jermanku, tapi guruku itu tidak punya alternatif lain karena dia sendiri sedang cuti melahirkan.

Aku membenarkan letak kacamataku beberapa kali agar terasa nyaman. Namun nihil. Rasanya tetap saja tidak nyaman. Ini membuat konsentrasiku pecah, antara mendengarkan guru sejarah yang sedang membacakan sejarah Kerajaan Majapahit dan membenarkan posisi kacamataku.

“Haruna,” panggilan itu membuatku yang sedang membenarkan letak kacamata tersentak.

“Ya, Bu?” aku menatap guru sejarah yang berada tidak jauh dari bangkuku.

Lihat selengkapnya