Kring!
Pintu sebuah apotek tengah kota terbuka, nampak seorang perempuan dengan seragam waitres, masuk ke dalam dengan langkah cepat. Dia menghampiri pelayan yang berdiri membelakangi dan terhalang etalase kaca.
"Selamat datang, ada yang bisa sa-" perkataan pelayan pria yang berpakaian seperti perawat rumah sakit berbalik dari posisinya terputus saat iris kecoklatan yang terhalang kacamata bening berbingkai hitam itu, menatap lurus perempuan yang ada di depannya.
Sama halnya, perempuan tadi mendadak terdiam di tempatnya.
Menghela nafas panjang. Pria itu mencoba menetralkan rasa keterkejutannya, "mencari apa?"
"Ah- itu… obat merah sama perban." Katanya mencoba bicara seperti biasa, menghilangkan kegugupannya.
"Tunggu sebentar." Pria itu menunduk, mencari barang yang dicari di dalam etalase.
Sementara perempuan yang berdiri di depan etalase berusaha mengusir rasa gugupnya sejauh mungkin, juga debaran yang dulu selalu ada kini muncul lagi, jangan gila! Batinnya.
"Ini," pria itu menyodorkan obat merah dan perban yang dibungkus plastik putih, "jika untuk luka memar harus di kompres dengan es batu dahulu baru diperban. Kalau untuk luka berdarah usahakan darahnya dibersihkan dahulu sebelum ditetesi obat merah." Katanya memberikan penjelasan panjang lebar.
"Baik. Ini uangnya." Perempuan itu memberikan uang dan mengambil plastik putih yang berisi perban dan obat merah, lalu memutuskan langsung berbalik pergi tanpa menunggu kembalian. Walaupun dia tahu pasti ada kembaliannya.
Pria itu menghela nafas panjang, tidak berniat mengejar, karena percuma dia akan lelah sendiri jika mengejarnya, jadi jika nanti perempuan itu kembali kesini, dia akan memberikan kembaliannya.
****
"Lama banget sih! Kemana dulu?" Sesampainya di restoran tempatnya bekerja, perempuan itu langsung disambut protes oleh seniornya, karena terlalu lama, dia menunjuk lengannya sendiri yang terkena pecahan gelas karena tidak hati-hati, "lihat tuh darahnya udah hampir ngotorin lantai."
"Maaf, tadi antri." Katanya, lalu memberikan plastik putih tersebut dan pamit untuk kembali ke belakang meja kasir.
Tapi sebelum dia benar-benar menghilang dari pintu yang menghubungkan meja kasir dengan dapur, perempuan itu memberikan penjelasan yang diberikan oleh penjaga apotek tadi, "berisihkan dulu lukanya baru pakai obat merah dan di perban."
Sampai di depan meja kasir, rekannya langsung memberondongi perempuan itu dengan pertanyaan, "tadi ke apotek?"
Perempuan itu mengangguk.
"Dimana? Kan disini nggak ada apotek?" Tanya rekannya lagi.
"Ujung jalan dekat perempatan. Kayaknya sih masih baru." Perempuan itu kembali menjawab dengan cuek.
Rekannya menganggukkan kepalanya, "ah iya, yaudah lo jaga baik-baik ya kasirnya, gue mau makan siang dulu laper nih." Katanya sambil mengelus perutnya pelan. "Yang ramah sama pembeli. Jangan judes, ingat?"
Perempuan itu diam, tidak menjawab.
"Salma?"
"Iya-iya! Sana aja deh!" Disebut namanya seperti itu, jelas saja Salma kesal. Rekannya itu memang mempunyai sifat bawel yang luar biasa.
Tidak tahu apa? bahwa mood Salma baru saja turun drastis karena penjaga apotek itu, penjaga apotek itu memang tidak mencari masalah dengannya, tidak menyebalkan dan tidak menggodanya juga, tapi karena itu moodnya menjadi turun karena tatapan mata penjaga apotek itu sama seperti tatapan yang seseorang berikan tiga tahun lalu.
****
Musim hujan---2016
Hujan deras mengguyur bumi pagi pagi. Membuat segala aktifitas terhambat, tapi meski begitu, masih saja ada manusia yang memaksa untuk pergi, walau tak memiliki payung, mereka memutuskan menerobos hujan.
Salma berlari kecil dengan telapak tangan yang menutupi kepalanya, dia tahu itu tidak mungkin melindungi kepalanya dari hujan, tapi setidaknya rambutnya tidak basah semua.
Halte kecil menjadi tujuan utamanya, dia menghela nafas saat sampai di halte tersebut, lalu menepuk seragam sekolahnya yang sebagian sudah basah terkena air hujan.