Like It

Jeni Hardianti
Chapter #4

Les't Not

   "Bahkan jika kita pernah menyesali putusnya hubungan kita. Aku tidak bisa melakukan apapun tapi memberimu perpisahan kita."

****

   "Huft…." 

   Raihan merapatkan retsleting jaket abu-abunya, malam ini angin berhembus cukup kencang dan membuatnya sedikit kedinginan.

   Pria itu membetulkan kacamatanya sambil celingukan ke kanan dan ke kiri, jalanan cukup sepi malam ini dan dia pulang sendirian karena Arka masih ada tugas di rumah sakit.

   Setidaknya, bus masih beroperasi dan Raihan bisa tenang.

   Brukk!

   Cowok kacamata itu segera mengedarkan pandangannya saat mendengar suara jatuh yang cukup keras. Ini sudah hampir malam, tidak mungkin kan telinganya mendengar sesuatu yang aneh. 

   Detik selanjutnya dia menangkap sesosok anak sekolah tengah susah payah untuk berdiri dengan berpegangan pada tiang halte yang ada beberapa meter dari tempat Raihan berdiri sekarang.

   Secepat kilat Raihan berlari menghampiri anak itu, tepat saat Raihan sudah dekat anak itu berhasil berdiri tapi kemudian tubuhnya kembali oleng, "hei!"

   Jika saja Raihan tidak segera menangkap tubuh anak itu mungkin saja, anak itu akan jatuh dengan menyedihkan ke tanah. Cowok berkacamata itu merangkul anak sekolah tersebut dan membawanya duduk di kursi halte, "hei, apa kamu masih sadar? Kamu bisa dengar saya?"

   Terdapat pergerakan dari anak yang ditolongnya. Raihan menghela nafas lega, "kamu baik-baik saja?"

    Anak itu menganggukkan kepalanya.

   Raihan bisa menebak, dari almamater sekolah yang dipakai bisa dipastikan anak itu masih SMP. Tunggu, anak SMP semalam ini kenapa masih berkeliaran disini? 

    Tanpa sadar, tangan Raihan terangkat, dia membuka cindung jaket yang menghalangi kepala anak itu, "ya ampun!" pekiknya kaget karena terdapat darah kering di bagian samping kepalanya, Raihan memberanikan diri menangkup pipi anak itu, mengarahkan wajahnya ke arah Raihan, 

    Luka lebam keunguan disudut bibir, di tulang pipi, dan jangan lupakan luka memar di kening yang juga terdapat bercak darah yang sudah mengering menjadi pemandangan Raihan di wajah anak itu, "kamu terluka."

   Anak laki-laki itu hanya diam, tidak menjawab.

   "Kamu tawuran? Masih SMP kenapa tawuran?" Raihan menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang.

   Sementara anak laki-laki itu masih diam. Tidak merespon perkataan Raihan.

   Sampai kemudian, anak itu merasa tangan kanannya ditarik pelan untuk berdiri, "ikut saya, luka itu nggak baik kalau di diamkan terlalu lama."

   Anak itu menurut, masih dengan diamnya dia mengikuti langkah Raihan, yang belum tahu akan membawanya kemana, anak itu hanya menatap tangannya yang dipegang Raihan, hatinya mengatakan Raihan bukan orang jahat seperi teman-temannya.

****

   "Tunggu sebentar." Raihan melepaskan genggamannya pada anak itu, lalu merogoh tasnya dan mengambil kunci apotek. 

   Dia memutuskan membawa anak itu ke apoteknya. Karena jarak apotek lebih dekat daripada harus ke rumah sakit.

  "Masuk." Perintahnya sambil melangkahkan kakinya terlebih dahulu, menyalakan lampu apotek yang sudah dia matikan sebelum ke rumah sakit.

  Anak itu masuk dan berdiri di depan pintu tanpa berkata apa-apa. Mengamati sekelilingnya, mengamati bangunan apotek yang baru dia lihat.

  Raihan masuk ke dalam, dan kemudian kembali dengan obat merah, kapas, es batu juga plester, dia menggelengkan kepala saat melihat anak itu masih seperti posisi awal; berdiri. "Duduk aja disitu, nggak pegel berdiri gitu?" lanjutnya sambil melirik kursi panjang yang ada dibelakang anak itu berdiri.

  Cowok berkacamata itu mendekat, lalu menaruh obat-obatan di kursi dan kemudian menarik pelan anak itu untuk duduk di kursi yang masih tersisa.

  Raihan membuka cindung jaket anak itu pelan-pelan, sedikit dia meringis melihat luka di wajah anak remaja di depannya ini, mungkinkah dia tawuran? Tapi wajahnya tidak menunjukkan jika anak itu anak, atau mungkin dia korban bullying di sekolah?

  Cowok itu mengambil sapu tangan yang ada di dalam tasnya, lalu mencelupkannya pada batu es yang sudah dia beri air, tapi saat tangan Raihan akan menyentuh lukanya, anak itu menjauhkan wajahnya, matanya menatap Raihan takut. "Kenapa? Tenang saja, saya bukan orang jahat, saya cuma mau ngobatin kamu,"

  Tapi anak itu masih dalam posisinya. 

Lihat selengkapnya