"Tira, mau apa? Kakak akan pulang."
"Secepat itu?"
"Nona Mira sedang pergi, ia mungkin akan kembali besok," ungkap Andraw disaat tangannya kini mengunci pintu ruang kerja Mira Victoria, "Kakak akan membeli makanan. Kamu mau apa?"
Tira Geon yang berada di kamarnya memikirkan sejenak, "Makanan aja kak, mie kuah buatan pak Haryo. Yang pernah kakak bawa malam malam pas tahun baru lalu."
"Itu aja?" Andraw bertanya kembali lebih lanjut. Ia membalikkan badannnya lalu berjalan menuju lift hingga kedua langkah lelaki itu berhenti saat netranya terfokus akan suatu pesan. Pria itu langsung membuka percakapan dan wajahnya yang gembira menjadi gelap.
"Itu aja, lemari kakak banyak jajanan."
"Oke oke. Kamu tunggu ya," balas lelaki itu lalu mematikan sambungan telepon ketika tidak ada lagi yang perlu diberitahu pada adiknya. Tatapan gelapnya akan pesan yang dikirim membuat satu tangannya terkepal. Wajah pria itu mendongak ke atas beberapa saat, mengusap wajahnya kasar lalu kembali menatap pesan itu. Ia membalas chat itu hingga beberapa saat berselang seseorang sepertinya memanggil namanya.
Andraw menghiraukan hal itu karena ia sangat yakin seseorang bukan memanggil namanya.
"Mr, bawaan an ..."
"Kau bisa diam GAKK!" bentak Andraw langsung menolehkan posisi dirinya pada wajah perempuan itu. Hanya butuh empat detik Andraw menyadari kesalahannya dan menatap penuh perempuan di depannya. Ia merasakan ekspresi ketakutan pada wajah perempuan itu, "Ma ... maafkan aku," ungkap Andraw tulus padanya. Kedua netranya melembut ke arah perempuan itu, "aku sedang menelepon ka ... kawan ya kawan," bibirnya terbuka dan tertutup menandakan dirinya kebingungan untuk berbicara lebih lanjut membuat dirinya menunjukkan panggilan terakhir pada Elizabeth yang masih terdiam sebagai bukti, "saya sedang melakukan panggilan telepon dengan teman. Aku tidak bisa mengatakan alasan lebih lanjut karena bersifat pribadi, nona," ujarnya langsung ke topik.
Elizabeth berusaha berpikir positif, perempuan itu lalu menyerahkan sebuah buku pada lawan bicaranya, "Apa ini barang anda?"
Netra lelaki itu beralih pada buku yang dipegang perempuan itu, astaga Andraw Geon, buku harianmu mengapa bisa jatuh runtuknya. Satu tangannya menjulur menerima buku dan mengangguk. Masih ada rasa bersalah di dalam hatinya, "ya, ini milik saya," ucapnya, "maafkan saya, saya sungguh menyesal."
"Tidak apa-apa. Saya bisa mengerti," balas Elizabeth sedikit tersenyum, tetapi menurut Andraw bahwa perempuan itu masih jengkel padanya
"Baiklah, saya permisi," pamit Elizabeth, melenggangkan kakinya menuju suatu ruangan. Elizabeth berencana untuk menanyakan arah pada lelaki itu tetapi ia mengurungkan niatnya.