Satu jam upacara, tapi serasa setahun bagi Raka. Wajahnya mirip orang sekarat, bahkan siswi-siswi tukang gosip yang katanya tak tahan panas pun masih terlihat baik-baik saja ketimbang dirinya.
"Lo udah nyiapin wasiat belum?" tanya Adnan iseng.
"Buat apaan?" dahi Raka berkerut bingung.
"Ya, siapa tahu aja lo bakal dipanggil lebih dulu."
"Eh, sembarangan!" teriak Raka sambil menggebrak meja. "Lo pikir gue mau mati gitu?!"
"Ya, mungkin aja, kan? Habisnya lo kelihatan lesu, lemah, lunglai nggak berdaya gitu" ucap Adnan sambil cekikikan. "Lagian lo kenapa, sih?"
Raka menggigit bibir sebelum berucap, "Gue cuma lagi mikir ada apa sama Kak Sinta."
"Kak Sinta? Ada apa lagi emangnya sama dia?" tanya Adnan ogah-ogahan.
Raka tiba-tiba mendesah lelah. "Menurut lo, normal nggak kalau tiba-tiba aja orang ketakutan pas disentuh tangannya?"
"Tergantung siapa yang nyentuh, sih. Kalau yang nyentuh gue itu penjahat sambil nodongin senjata ke gue, ya gue takut."
Raka terdiam mendengar jawaban blak-blakan Adnan.
"Emangnya kenapa, sih?" tanya Adnan yang mulai penasaran.
"Tadi di UKS gue sempet ketemu Kak Sinta. Dan, lo tahu, reaksi pas gue pegang tangannya mirip kayak orang yang baru ketemu setan. Persis Sabtu kemarin sebelum dia kabur dari kedai kopi sepupu lo itu," jawab Raka seraya menelungkupkan kepala di meja.
Adnan ingin tertawa, tapi setengah mati ia tahan. "Gue turut prihatin, ya, Bro. Mungkin dia anggap lo penjahat," ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu lebar Raka.
Raka mendengkus. Ia benar-benar tak punya tenaga untuk meladeni ledekan Adnan.
Tatapan jenaka Adnan seketika berubah serius. "Omong-omong, gue kok jadi kesel sama Kak Sinta, ya?"
Mendengar ucapan Adnan tadi, Raka terpelatuk. "Maksud lo apaan, hah?!"
"Eh, santai, dong. Nggak usah pakai nyolot!" seru Adnan sambil mengusap-usap dada, kaget setelah dibentak Raka.
Raka kembali mendengkus, lalu menurunkan sedikit nada bicaranya. "Ya, terus emangnya kenapa sampe lo kesel sama gitu Kak Sinta?"