Raka masih ingat betul dengan kejadian tiga tahun lalu. Saat itu, sehabis pulang dari latih tanding bola melawan SMP sebelah, Wildan tiba-tiba mencegatnya di depan gang rumah. Tanpa banyak bicara Wildan langsung memintanya untuk mengembalikan tas Suri yang tertinggal. Ketika Raka bertanya mengapa tas itu bisa ada padanya, Wildan malah mengalihkan topik obrolan.
Tadinya Raka ingin menolak permintaan Wildan, tapi karena ia takut dicap sebagai anak yang tidak sopan akhirnya ia pun mengiyakan.
Dalam perjalanannya menuju rumah Suri, sebenarnya Raka masih bisa melihat sosok pemuda itu dari kejauhan. Ia terlihat seperti sedang menunggu di atas motornya. Dalam hati Raka bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Suri. Apa gadis itu berkelahi dan langsung pulang tanpa membawa tasnya? Ah, sayang sekali ia harus absen les hari ini. Coba saja ia ada di sana, kejadian itu pasti bisa ia jadikan bahan untuk meneror Suri selama tiga bulan ke depan.
Sesampainya di rumah Suri, ketika ia ingin menyerahkan tas itu, tiba-tiba saja Suri menerjang dengan emosi. Gadis itu sempat memukulinya dengan penggebuk kasur. Jun yang juga tengah berada di sana cuma bisa mematung menghadapi keganasan adiknya yang sangat tak biasa.
"Eh, sebentar. Salah gue apaan?!" teriak Raka sembari menghalau pukulan Suri yang datang bertubi-tubi.
"Salah lo adalah, lo nyuruh gue buat nembak Kak Wildan lewat surat dan akhirnya surat itu dibaca semua orang di tempat kursus!"
"Kok, jadi gue yang salah, sih? Gue nggak pernah nyuruh lo begitu, ya!" Raka kemudian merampas penggebuk kasur dari tangan Suri, lalu melempar benda itu jauh-jauh. Suri yang kehilangan senjata pun tak habis akal, ia langsung menyelengkat kaki Raka hingga bocah itu jatuh terjengkang.
"Bodo amat. Lo pasti mau ngerjain gue, kan?!"
"Gue nggak ngerjain lo—aduh!" Raka memegangi tangannya yang baru saja kena tendang Suri.
"Kalian ini kenapa, sih?" untungnya, sebelum Suri sukses menduduki perut Raka, Jun berhasil memisahkan mereka.
"Raka, tuh. Dia nyuruh aku buat nembak Kak Wildan!"
"Nggak, aku nggak pernah nyuruh begitu!"
"Bohong!" Suri kembali ingin menyerang Raka, tapi kemudian Jun berhasil menangkap Suri dan memegangi adiknya itu dari belakang.
"Sebentar, Kak Wildan yang guru di tempat les itu, kan?"
"Iya!" Suri dan Raka menjawab kompak.
Jun mencoba memproses semua informasi yang datang sekaligus. Jadi, penyebab Suri pulang-pulang menangis lalu membanting pintu kamar, dan selama dua jam mendekam di kamar adalah ... "Kamu ditolak Kak Wildan, ya, Dek?" tanyanya polos.
Suri menginjak kaki Jun kuat-kuat hingga berhasil membuat kuncian Jun di tubuhnya terlepas. Lalu, dengan barbar ia meninju rahang kiri Raka. "Mas Jun jahat!" teriaknya nyaring.
Dan, pintu kamar Suri pun dibanting lagi untuk yang kedua kalinya dalam hari ini, menyisakan Jun yang tengah merintih memegangi kakinya serta Raka yang menangis setelah mendapat hantaman telak dari Suri.
Raka memijat pelipisnya yang terasa sedikit pening. Oke, kenangan masa lalu macam itu betul-betul tak patut diingat. Memang betul kata orang, jangan pernah menilai orang dari penampilannya saja. Siapa sangka kepalan tangan Suri yang kecil dan terlihat rapuh itu mampu membuatnya menderita selama tiga hari. Gila! Untung saja, rahangnya tidak sampai bergeser.
Omong-omong soal Suri, meski gadis itu sering membuatnya jengkel dan naik darah, tapi rasa sayang Raka terhadapnya masih lebih besar. Akibat tumbuh besar bersama selama bertahun-tahun, entah mengapa hal itu menjadikan Suri sebagai salah satu perempuan penting dalam hidup Raka; tentunya sebagai saudara. Ya, sebagai saudara ...
Ia bimbang. Berkali-kali ia menulis pesan tapi menghapusnya beberapa detik kemudian. Haruskah ia memberi tahu Suri soal ini? Tapi, cepat atau lambat Suri pasti akan tahu, kan? Arghh!
"Coba yang duduk di pojok kanan belakang, kamu bisa dengar penjelasan saya, kan?" tegur Wildan sambil menutup spidol hitam dan meletakkan benda itu ke meja guru.
Raka gelagapan. Ia pun cepat-cepat memasukkan ponselnya itu ke dalam kolong meja. "Ya, sa-saya bisa denger, kok, Pak."
Wildan mengangguk sekali. "Oke, kalau begitu kalian bisa kerjakan soal-soal latihan yang ada di halaman enam puluh empat. Harus selesai sebelum jam pergantian. Understood?"
"Yes, sir," jawab seluruh siswa-siswi dalam kelas secara bersamaan.
-oOo-
Suri menelungkupkan kepalanya di atas meja, pun begitu dengan Dessy. Sejujurnya, muka-muka nelangsa keduanya berdua tak berbeda jauh dengan keadaan anak-anak sekelas. Bahkan, beberapa dari mereka ada yang hampir pingsan dengan mulut berbusa setelah mengerjakan soal-soal ulangan matematika barusan.
"Habis ulangan trigonometri tadi, rasanya gue pengen ke surga sekarang. Habis upacara langsung ulangan, tuh, rasanya ... ugh!" keluh Suri sambil memijat pelipis. "Kenapa soal-soalnya dibedain sama temen semeja, sih?! Gue kan jadi nggak bisa nyontek jawaban lo."