Raka menggeram jengkel. Tadinya mereka berdua berniat untuk mengerjakan tugas di rumah Adnan, tapi bodohnya Adnan tak membawa kunci rumahnya! "Terus gimana? Kalau tahu begini mending ngerjain tugas di rumah gue aja!” sentaknya kesal.
“Ya, maap.” Adnan menyengir, lalu berpikir sejenak. "Kita ngerjain di coffee shop sepupu gue aja, yuk! Kalau sekarang ke rumah lo juga nggak mungkin. Keburu malem nanti," ajaknya sambil harap-harap cemas.
Raka mendengkus kesal. "Emang di sana ada tempat buat ngerjainnya?"
"Ada! Di lantai dua."
“Ya, udah, ayo!”
Adnan menunjukkan gestur 'OK' setelah mengirim pesan pada sepupunya. “Hehe ... sekalian kita makan di sana. Tenang aja, gue yang traktir.”
“Ya, harus, lah!” Raka sudah bad mood setengah mati.
Sesampainya di kedai kopi milik sepupunya Adnan, mereka langsung disambut oleh seorang lelaki dewasa berumur sekitar pertengahan dua puluhan dengan dua tindik di telinga kanan. "Hei, kamu yang Sabtu kemarin berantem dan diputusin sama pacarnya, kan?" sapa lelaki itu sembari mengelap salah satu meja yang berada di smoking area.
Ugh, dada Raja seperti ditusuk sembilu. Ya, meski dia tahu niat lelaki tadi bukan untuk mengolok-oloknya, tapi tetap saja hatinya terasa sangat perih saat ia kembali diingatkan dengan kejadian yang menimpanya tiga hari lalu.
"Bang Reno, udah jangan diledek terus. Nggak lihat apa mukanya udah kayak orang mau mati begitu?" kata Adnan sambil terkikik geli.
Reno tertawa jahil. "Sayang sih kemarin nggak ada drama. Coba kalau cewek kamu marah-marah dan sampai nampar kamu, nanti bakal abang rekam dan posting di Facebook sama Instagram, biar coffee shop abang ini viral."
"Ceweknya dia itu orangnya kalem, Bang. Meski marah, Kak Sinta nggak suka teriak-teriak, soalnya dia suka main halus," sela Adnan.
"Lo kok jadi ikut-ikutan, sih, Nan?!" Raka spontan meninju bahu Adnan karena tak terima. "Gue pulang aja, deh."
Adnan terkekeh menyebalkan sambil mengusap-usap bahu. "Cieee, ngambek? Katanya mau ngerjain tugas?"
"Berisik lo!"
Adnan masa bodoh karena ia sudah terbiasa dengan bentakan temannya itu. “Oh, ya, Bang. Bang Chiko ke mana?” tanyanya sambil celingkukan. Pasalnya, sedari tadi ia tak melihat batang hidung partner usaha kakak sepupunya itu.
“Pulang sebentar. Nanti lagi juga balik,” jawab Reno sembari melangkah menuju coffee bar. “Oh, ya. Kalian berdua mau ngerjain di sini apa di atas aja? Masih ada meja kosong di pojokan, tuh!"
Adnan melirik ke seluruh sudut kedai kopi sepupunya. Kedai kopi ini memang tak pernah sepi, apalagi kalau berada di jam-jam pulang sekolah atau kerja. Saat ini pun beberapa meja sudah ditempati pengunjung yang bersantai menikmati kopi buatan Reno. Di coffee bar saja terdapat antrian dari tukang ojek online yang akan memesan. "Kita di atas aja, Bang!" jawabnya cepat.
"Tapi di atas agak berantakan.”
“Nggak apa-apa. Nanti Adnan sekalian beresin,” ucapnya sambil mendorong-dorong ?punggung Raka menuju tangga.
"Eh, tapi, tunggu sebentar," sambar Reno. Ucapannya ini berhasil membuat langkah kedua remaja itu terhenti.
Adnan yang berjalan di belakang Raka pun menengok. "Kenapa, Bang?"
"Yang kemarin itu beneran cewek kamu, kan, Ka?" tanya Reno dengan dahi sedikit berkerut.
"Mantan, Bang," ralat Adnan dengan nada jahil.
Raka menatap Adnan sengit sebelum mengangguk.
"Kayaknya abang pernah lihat, deh. Di manaaa, gitu," kata Reno sambil mengelus-elus dagu.
"Ah, cuma perasaan Abang doang kali," sahut Adnan.
Reno memandangi Adnan sebentar. Tergambar jelas di wajahnya kalau dia juga tidak yakin dengan ucapannya tadi. "Oh, mungkin salah lihat."