“Yu, mau tambah buburnya?”
Sinta menggeleng pelan. Bubur yang ada di mangkoknya saja masih tersisa banyak.Saat ini ia bahkan kebingungan bagaimana harus menghabiskannya karena selera makannya menguap entah ke mana.
Indra tersenyum kecil. Helaan napas beratnya terdengar kemudian. Sebenarnya dia ragu untuk menanyakan hal ini, tapi ia tak mampu menahan rasa penasarannya lebih jauh. “Kamu tadi kenapa tiba-tiba nangis? Ada sesuatu yang mengganjal? Kalau ada, cerita aja sama Mas.”
Sinta tersentak. Tangannya mendadak gemetar. “Nggak ada apa-apa, kok, Mas,” ucapnya sambil memaksakan senyum.
“Yakin?” Indra memandang sepupunya sangsi.
“Ya, Mas nggak usah khawatir. Tadi itu reaksi yang nggak disengaja, kok,” jawabnya sambil menunjukkan kalau dia sedang baik-baik saja.
Indra memilih untuk tak membahas hal itu lagi. Ia yakin jika Sinta ingin, ia pasti akan sendiri. “Ya udah kalau begitu,” katanya sambil mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Seingatnya tadi ada satu pesan masuk, tapi karena ia tengah sibuk menyiapkan bubur untuk Sinta, ia abaikan pesan itu.
Sinta yang tengah sibuk mengunyah, melirik sekilas ketika kakak sepupunya itu bangkit dari sofa dan lantas berjalan menuju pintu utama. Dari balik jendela besar yang memisahkan ruang tamu dan teras, Sinta dapat menyaksikan jika Indra tengah sibuk menelpon seseorang.
Gadis itu kemudian menghela napas lelah. Hari ini ia telah merepotkan semua orang di rumah ini, terutama Indra. Indra seharusnya beristirahat setelah melakukan perjalanan jauh dari Surabaya ke Jakarta. Tantenya juga. Seharusnya wanita itu bisa berangkat lebih pagi agar bisa membuka salon lebih awal. Namun gara-gara dirinya, orang yang sudah ia anggap sebagai pengganti almarhumah ibunya pun mau tak mau berangkat lebih siang. Semoga hal itu tak mengakibatkan berkurangnya pemasukan salon yang telah dirintis tantenya selama tiga tahun belakangan.
“Pakai segala nggak diangkat. Gimana sih?!”
Sinta sedikit terkejut saat mendengar gerutuan Indra. “Kenapa, Mas?” tanyanya hati-hati.