Setelah beberapa tahun menemani Sinta melawan traumanya, Indra tahu jika malam-malam mendekati peringatan kecelakaan itu akan menjadi malam yang menakutkan bagi Sinta. Gadis itu pasti akan terserang insomnia. Ataupun jika ia tertidur, mimpi buruk tentang kecelakaan itu pasti akan datang bagai monster yang memburunya ke mana saja. Itulah alasan ia dan ibunya harus siap siaga agar mereka bisa menanangkan Sinta jika serangan panik itu datang.
Lelaki itu kemudian menarik napas panjang, lalu melirik ke jam yang tertempel di dinding. Jarum panjang sudah menunjukan pukul sepuluh malam dan ini adalah waktu-waktu yang tergolong rawan ketika Sinta kambuh. Sepupunya itu bisa saja kembali histeris seperti kemarin malam.
“Ayu tadi sudah makan, Ndra?” sang bunda yang baru saja pulang dari salon kemudian mendudukan dirinya di sebelah Indra.
“Sudah, Mi. Dia juga udah minum obat.”
Sang ibu menghela napas pelan. “Terkadang, mami pengen banget gantiin posisi Ayu. Mami nggak tega ngelihat dia begitu terus.” Setitik air mata terjatuh. “Masa depan Ayu itu masih panjang, harus sampai kapan dia menderita begitu?”
Indra yang melihat dengan segera merengkuh ibunda tercintanya dalam dekapan hangat. “Indra percaya sama Ayu. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa menghadapi ini.”
“Tapi sampai kapan? Sudah enam tahun padahal, tapi Ayu masih aja kambuh.”
Indra mengusap-usap lengan ibunya dengan sayang. “Semua butuh proses, Mi. Pelan-pelan pasti Ayu bisa melupakan kecelakaan itu,” ucapnya sambil menghela napas berat. Ya, kecelekaan enam tahun lalu yang menyebabkan ayah tirinya meninggal adalah penyebab dari penderitaan Sinta. Terkadang ia tak mengerti kenapa Tuhan membuat jalan takdir sepupunya menjadi seberantakan ini.
“Tapi, Ndra. Kamu merasa aneh nggak sih sama serangan Ayu yang sekarang? Biasanya dia cuma insomnia biasa, tapi sekarang dia sampai nangis ngeraung-raung begitu. Tadi pas konsul dia ada cerita sama kamu, nggak?” sang ibu bertanya khawatir.
Lelaki itu terdiam. “Nggak. Dia nggak cerita apa-apa.”
“Apa kita tanya aja sama temennya Ayu yang beberapa kali pernah main ke sini itu—siapa namanya, ya. Eum … kalau nggak salah Rina, kan?” Sang ibu buru-buru mengambil ponsel dari tas, tapi dengan cepat Indra mencegah.