Malam terasa sangat mencekam. Angin berhembus membuat daun disekitar berterbangan, dan suara jangkrik terdengar saling bersahut-sahutan. Hari ini hujan mengguyur dengan derasnya. Gemuruh petir terdengar kencang memekakkan telinga seakan hendak mengutuk siapapun yang mendengarnya.
Diatas dipan, seorang perempuan terlihat merintih kesakitan dan terkadang terdengar geraman pelan. Ya, perempuan itu tengah menghadapi antara hidup dan matinya, melahirkan. Lelaki yang berada disebelahnya menggenggam tangannya erat sambil sesekali berbisik menyemangatinya yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Waktu berjalan sangat lama, bayi yang di kandungnya tidak kunjung keluar juga. Sang istri sudah tampak kelelahan, peluh menetes di sekujur tubuhnya.
"Sayang, sedikit lagi. Ayo semangat! "
"Dorong lagi. Kepalanya sudah hampir terlihat!"
"Hnggh.. "
Kepala bayi itu sedikit demi sedikit mulai terlihat seiring geraman perempuan tersebut. Kini, bahunya sudah mulai terlihat. Beberapa menit setelahnya, seluruh tubuhnya sudah keluar sempurna diikuti hembusan napas lega dari perempuan itu. Tapi ada yang aneh dengan bayinya. Dia tidak menangis, napasnya pun terdengar sangat lirih seolah semua perjuangan perempuan yang melahirkannya berakhir sia-sia. Seolah bayi nya tidak ditakdirkan ada di dunia ini.
"Mbok Ijah, aku mau lihat anak ku.. ," pinta perempuan itu pelan karena kelelahan, namun wajahnya terlihat sangat bersemangat menyambut kehadiran anak pertamanya itu.
Wanita tua yang dipanggil Mbok Ijah terlihat ragu-ragu menyerahkan bayinya kepada perempuan tersebut.
"Mas, coba lihat. Putri kita cantik sekali.."
Lelaki itu mengangguk. "Mirip kamu. "
Dia mengecup kepala bayinya dengan senang, tapi itu tidak bertahan lama. Dia menyadarinya. Bayinya tidak menangis. Bayi itu tidak menghembuskan napas lagi. Aura kehidupannya sudah benar-benar menghilang.
"Mbok , ada apa dengan anak ku? Kenapa dia tidak bernapas!"
" Sepertinya putri anda tidak dapat diselamatkan ," jawab Mbok Ijah lirih.
Kelenggangan menyerang dalam ruangan kecil tersebut. Perempuan itu menangis sesengukan. Lelaki yang ada di sebelahnya pun juga sangat terkejut mendengarnya, namun tetap berusaha untuk menenangkannya. Dia memeluk perempuan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, tapi semua juga tahu bahwa dia berusaha untuk tegar.
"Tolong selamatkan putriku!.” Perempuan itu mencengkram lemah tangan Mbok Ijah memohon dengan teramat sangat.
Wanita tua itu hanya menggeleng pelan. Tidak bisa.
"Ku mohon, mbok. Tolong selamatkan putriku. Akan ku berikan apapun asalkan bayi ini bisa selamat! "
Mbok Ijah tetap diam menggeleng. Itu mustahil. Bayinya sudah tidak tertolong lagi. Bayinya sudah tidak bernapas. Sudah tidak ada di dunia.
Kali ini suaminya memohon sambil memegang kaki mbok Ijah. "Mbok, saya mohon. Tolong selamatkan anak saya. Saya janji akan memberikan uang tiga kali lipat untuk anda. Tidak, apapun yang anda minta sebisa mungkin saya kabulkan."
"Saya tak butuh uang kalian. Sebenarnya ada satu cara, tapi aku tak yakin kalian mau melakukannya."
Pasangan itu menatap Mbok Ijah penuh harap. Apa?
" Dulu sekali saya pernah mendengar dari seseorang bahwa yang telah mati bisa di hidupkan kembali. Ada beberapa syarat yang harus kalian lakukan dan itu tidak boleh sampai kalian lupakan atau akibatnya akan sangat mengerikan."
"Apapun itu kami bisa melalukannya," ujar pasangan itu yakin.
Mbok Ijah melihat mata mereka dengan bergantian. Mata penuh tekad siap menanggung resiko apapun yang terjadi. Mbok Ijah menghembuskan napasnya pelan.
"Setiap dua tahun sekali kalian harus mengadakan ritual tumbal, tapi tenang saja. Tumbal yang diminta hanya berupa ayam hitam dan sesajen. Yang perlu kalian takuti adalah delapan tahun setelahnya," ujar Mbok Ijah dengan melirik ke kiri dan ke kanan seolah takut untuk mengucapkan kalimat berikutnya.
"Ya, delapan tahun setelahnya kalian harus menumbalkan manusia. Untuk ketentuan yang ini kalian tidak boleh sampai lupa. Jika kalian melupakannya, maka nyawa kalian beserta anak itu akan dalam bahaya," tegas Mbok Ijah.
Pasangan suami istri itu saling menatap dan berpikir cukup lama. Harga yang ditanggung untuk menghidupkan putrinya sangat berat, yaitu nyawa. Bagaimana bisa mereka bermain-main dengan hal seperti itu?
"Bagaimana, apa kalian berdua berubah pikiran setelah mendengar ketentuannya? "
Perempuan itu menggeleng duluan. "Tidak, aku akan tetap melakukannya. "
"Sayang, kamu yakin?, " tanya suaminya dengan penuh kekhawatiran. Siapa juga yang tidak cemas mendengar hal menyeramkan seperti itu? Apalagi ketentuan itu terlihat sangat jelas jika sampai melupakannya barang sedikit saja maka nyawa menjadi taruhannya.
"Ya. "
"Baiklah, kalian akan ku beri tahu satu hal lagi. Kalian bukannya akan membuat perjanjian dengan ku, tapi dengan iblis. Jika kalian sudah yakin, maka kita bisa melakukan ritualnya sekarang. Bergegas lah karena kita tidak bisa berlama-lama mengambil keputusan. Semakin lama kalian mengulurnya, maka prosesnya juga akan semakin sulit, para warga juga akan tahu dan anak kalian tentu tidak bisa hidup kembali."
Mbok Ijah menggambar pola-pola secara acak menggunakan batu kapur di tanah sebelah dipan. "Kamu, kemarilah. Letakkan bayi itu disini. "
Sang suami bergegas cepat mengambil bayi dari istrinya dan meletakkannya di tanah. "Apalagi, Mbok?"
Mbok Ijah menyuruh nya untuk mengambil baskom berisi air penuh. Dia menuruti kata-katanya dengan cepat. Tak lama kemudian, dia kembali dari arah dapur membawa sebaskom air yang diminta dan meletakkannya sesuai arahan Mbok Ijah.
"Berikan darahmu. "