Lili

Ria Rahmawati
Chapter #2

#01

Lili tahu jika usahanya kali ini mungkin akan berbuah kesia-siaan. Kedua matanya menatap nanar pada pintu gerbang yang mulai bergerak menutup lewat gerakan slow motion oleh satpam sekolahnya itu dengan tak rela. Dia kembali melirik arloji coklat yang melingkari tangan kanannya sekilas, lalu segera mengambil ancang-ancang untuk mempercepat langkahnya. Tekadnya sudah bulat untuk tidak akan membiarkan satu coretan merusak cita-citanya menjadi salah satu Sriwijayans—sebutan khusus anak-anak SMA Sriwijaya—yang berhasil mencetak rekor tanpa telat selama tiga tahun. Ya meskipun ini baru berjalan satu tahun lewat tiga bulan, tapi Lili tetap bersemangat.      "Pak, tungguin saya! jangan ditutup dulu gerbangnya!" teriak Lili ketika jarak antara gerbang sekolah dan dirinya tinggal lima langkah lagi. Napasnya tersenggal, kedua tangan Lili berada menangkup lutut dan mengeluarkan suara terengah yang memprihatinkan.

Pak Hamid, satpam sekolah yang sudah satu tahun lewat tiga bulan menjadi tempat Lili menuntut ilmu itu memandangnya dengan tersenyum kecil, lalu membiarkan Lili untuk masuk ke dalam sekolah melewati pintu gerbang yang hanya tersisa sedikit lagi sebelum tertutup itu.

Tak bisa menyembunyikan napas leganya, Lili membawa punggung tangannya mengelap dahi dengan men-tap-tap-nya pelan. Menarik napas sekali lagi, kemudian kembali melangkah menuju koridor kelasnya.

Seharusnya, hari ini juga seperti biasa dia berangkat bersama Nu ke sekolah. Namun, semalam Nu tiba-tiba mengiriminya sebuah pesan singkat daring dan mengatakan kalau cowok itu tidak bisa menjemputnya karena adik tiri Nu yang tiba kemarin sore dari Jakarta—yang Nu bilang akan tinggal bersama keluarganya di Palembang—mulai bergabung menjadi Sriwijayans juga hari ini.

Sepanjang Lili mengenal Nu, rasanya hanya sekali Nu bercerita mengenai adik sambung cowok itu kepadanya, karena itu Lili sama sekali tidak tahu menahu siapa dan bagaimana rupa saudara Nu itu. Selain karena Lili tidak ingin terlalu terlihat mencampuri urusan keluarga orang, Lili juga tidak ingin jika Nu menganggapnya menyebalkan. Tidak akan pernah dia membiarkan hal itu terjadi.

      "Li!"

Seruan dari kejauhan jarak di depan Lili membuat cewek itu menatap ke sumbernya. Pandangan Lili lurus ke depan, yang kini meraup fokus pada cowok berkacamata yang keluar dari arena koridor loker di samping tangga menuju lantai dua gedung sedang melambaikan tangan kearahnya dengan sebuah buku menggulung dalam genggaman. Senyuman lebar Lili langsung terbit, tanpa menunggu lama lagi cewek itu langsung berlari menghampiri Nu yang masih berdiri di tempatnya.

      "Kok belum ke kelas?" tanya Nu, kemudian menggeser kepala ke kiri untuk menatap ke belakang Lili, lantas mengernyit. "Lo terlambat?"

Melihat ringisan Lili sebagai jawaban, Nu menggelengkan kepala pelan. Kebiasaan lama cewek itu pasti terulang lagi, Nu sangat yakin akan praduganya. Cowok itu membenarkan letak kacamatanya sebentar, kemudian mengajak Lili untuk naik ke lantai dua.

      "Gue salah naik bus tadi."

      "Udah nebak." Jawab Nu santai. Matanya melirik ke samping bawah dan tersenyum kecil ketika melihat wajah cemberut Lili.

Nu merasa jika Lili benar-benar moodbooster-nya sekarang, setelah sepagian ini darah yang mendidih hampir meletus karena adik sambungnya yang pindah ke SMA Sriwijaya membuatnya snewen—alih-alih meneruskan studi-nya sebagai murid Jakarta. Nu tidak mampu menolak, karena ayah yang baik kepadanya dan selalu memberikan apapun kebutuhan Nu bahkan tanpa dia minta sebelumnya. Nu bahkan merasa kalau dia memiliki seorang ayah lagi setelah kepergian sang ayah sejak dia masih berumur lima tahun. Namun, sudah lima tahun terlewati, dan jarak antara Nu dan adik tirinya—yang kebetulan seumuran itu—tidak kunjung mendapat titik terangnya juga. Nu sudah sekuat tenaga mencoba berteman, tetapi berakhir dengan dirinya yang diabaikan.

      "Ng, Nu?"

Nu menoleh sedikit agak menunduk memerhatikan Lili dengan pandangan bertanya. Kedua tangan Nu sibuk memainkan buku yang diambilnya dari dalam loker tadi untuk pelajaran pertama; Kimia.

      "Omong-omong, saudara lo kok nggak keliatan? Udah ke kelas?" tanya Lili hati-hati. Kepala Lili menoleh ke segala sudut mencari sosok asing yang siapa tahu adalah saudara Nu. Namun, Lili tidak menemukan siapapun di sana.

      "Lagi di Kesiswaan," jawab Nu sambil membalas tatapan Lili sesaat, sebelum cowok itu membawa pandangannya kembali ke depan. Keduanya kini berjalan menaiki anak tangga satu persatu. "Kayaknya Fajir masuk di kelas yang sama kayak elo deh, Li."

Tubuh Lili tersentak, langkahnya berhenti dan dia menatap kaku pada Nu yang kini sudah melangkah pada undakan tangga selanjutnya. Meninggalkannya.

Seolah menyadari bahwa Lili tertinggal dibawahnya, Nu langsung menoleh kaget, "Li, kenapa?"

      "Siapa...?"

Nu mengernyitkan dahi. "Siapa apanya?"

      "Nama adek tiri lo."

Lihat selengkapnya