"Nggak, dia nggak akan ngenalin gue! Iya, nggak akan!" Lili terus menggumamkan kalimat yang sama sejak dia memasuki kawasan tempat wudhu di dalam musola sekolah. Langkahnya mondar-mandir tak tenang dengan kedua tangan yang saling meremas satu sama lain dan sesekali menggigit bibir bawahnya. Khas Lili kalau cewek itu sedang merasa tertekan.
Kedatangan Fajir di sekolahnya sebagai murid baru benar-benar seperti malapetaka buat Lili. Karena menurutnya, Fajir adalah sebuah elegi yang siap menyanyikan lagu kesedihan sepanjang pijakan dalam hidupnya, dan Lili sudah bahagia dengan hidupnya yang sekarang. Sejujurnya.
Ketakutan Lili semakin menjadi saat tanpa sengaja tatapan mereka bersibobrok saat cowok itu hendak keluar kelas bersama Ares dan Dipo-yang sepertinya kedua cowok itu telah menemukan personil mereka yang hilang, karena secara kebetulan kursi di sebelah Dipo yang dibiarkan kosong selama tiga bulan itu diisi oleh Fajir, dan cowok berambut gondrong itu membiarkannya, padahal semua penghuni kelas juga tahu jika Dipo tidak pernah membiarkan siapapun duduk disana, bahkan Ares sekalipun.
"Kenapa, Li?" suara merdu Niken mengembalikan Lili ke dunia nyata. Lili menoleh, menatap Niken yang kini sedang memautkan diri di depan cermin sambil merapihkan bandana birunya.
Tadi, seusai suara lengkingan bel yang berhenti, Niken mengajak Lili supaya menemaninya ke toilet yang berada di dalam musola karena hanya disini yang memiliki kaca dan lebih terasa bersih di bandingkan toilet umum di lantai bawah dekat lapangan basket. Dan Lili, tentu saja langsung mengiyakan ajakan Niken karena dia butuh tempat berpikir jernih.
Lili menggeleng pelan, cewek itu berjalan menuju wastafel dan membasuh ke sepuluh jemarinya disana, kepalanya lurus ke depan menatap Niken melalui cermin panjang di depan mereka. "Nggak. Gue cuma lagi mikir kapan mau ke toko buku nyari rubik baru." bohongnya.
Ya kali, mana sempat Lili mikirin rubik jika dalam situasi begini, yang ada otaknya tambah pusing dan bebal. Tetapi, Niken pun tidak boleh tahu kalau dia mengenal Fajir. Bukan hanya Niken, tetapi semua teman-temannya di Sriwijaya. Dan terutama, Fajir tidak boleh ngeh kalau dia adalah Lili yang sama dengan Lili yang dulu menjadi bulan-bulanan cowok itu dan teman-temannya semasa SMP.
Lili sama sekali tidak ingin kejadian masalalu-nya terulang kembali sampai membuat kehidupan tentram di SMA-nya terampas lagi. Tidak, tidak, itu tidak akan terjadi. Selain karena dirinya sudah tidak menimbun lemak lagi, perubahan wajahnya yang-jika boleh sedikit besar kepala-sedikit lebih cantik pun jelas tidak akan membuatnya dikenali oleh Fajir. Meskipun jelas persamaan nama tidak dapat diabaikan.
Lagipula, kenapa juga Fajir harus mengingat cewek jelek sepertinya? Yang bahkan, kejadian itu sudah hampir tiga tahun berlalu.
"Jadi, dia adiknya Nu?" kembali suara Niken menyita lamunannya.
Lili tersenyum kecil dan mengangguk. Cewek itu sedikit mengibaskan tangannya untuk menghilangkan sisa air yang masih menempel di sela-sela jemari dan telapak tangannya, menatap pantulan dirinya pada cermin sekali lagi. Kemudian bersama Niken, keduanya berjalan menuju bagian dalam musola untuk berjalan keluar.
"Gue baru tau kalo Nu punya adik yang seumuran sama dia..." gumam Niken, kepalanya sedikit miring dengan gaya berpikir. Lalu, menoleh menatap temannya, "Lo tau?"
Keduanya kemudian duduk di keramik luar musola-bagian teratas tangga di teras musola-untuk memakai kaos kaki hitam dan sepatu pantofel hitam. Lili mengibas pelan kaos kakinya yang menggumpal, lalu memakainya.
"Tau," Lili mengangguk. "Tapi, nggak tau banget-banget. Cowok itu anak dari bokapnya Nu."
Satu fakta lain yang jujur hampir membuat Lili jantungan, sebetulnya.
Niken mengangguk paham. Santer kabar yang berhembus pelan, memang Nu memiliki ayah tiri yang super kaya dan baik hati. Bahkan, ketika pengambilan raport dulu, pria setengah baya itu yang datang mengambil raport alih-alih Ibu Nu. Dan tidak hanya itu, Ayah tiri Nu itu adalah termasuk donatur tetap di SMA Sriwijaya.
Mimik wajah Niken sedikit berubah walau sepersekian detik sebelum kembali ke mimik semula. Cewek itu berdiri lebih dulu dan mengulurkan tangan membantu Lili berdiri, kemudian keduanya berjalan bersisian melewati pinggiran lapangan futsal yang sudah dipenuhi murid cowok yang masih memakai pakaian olah raga-sementara beberapa orang lagi memakai seragam OSIS Sriwijaya nampak ikut meramaikan permainan futsal dadakan itu.
"Kalau dilihat-lihat, Fajir emang mirip banget sih sama Om Dharma,"
Lili otomatis mengikuti arah pandang Niken dan mendapati si pusat luka-nya sudah berbaur di lapangan itu. Senyuman lebar yang khas, dan bagaimana satu lesung pipi cowok tinggi itu terbentuk ketika dia tersenyum, hal itu semakin membuat dada Lili menyeri. Dia butuh obat, dan jelas satu-satunya obat adalah dengan tidak bertemu Fajir; si pusat luka.
Melihat bagaimana cowok itu tertawa seperti ini membuat Lili merasa kalau hidup tak adil. Bagaimana bisa, seseorang yang telah menghancurkan masa SMP-nya, bisa menikmati dan menjalani hidup dengan sangat baik sampai sekarang?
Kembali, Lili menggeleng. Dia tidak boleh menyimpan dendam, karena jelas ayah akan sedih di surga sana jika melihat putri kesayangannya seperti itu. Dan pula, ibu jelas tak kalah sedih dengan ayah. Dengan paksa, Lili mencoba menyikapi kalimat Niken dengan nada biasa saja. "Kan memang anaknya, Ken."
Niken terkikik. "Iya juga sih..."